Yayasan Bunga Bangsa Bondowoso

menyantuni anak yatim dan tahfidz

Tag Archive : Quraisy

Kisah Rasulullah #48

اللَّهُمَّ صَلِّ علَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ

Ketegaran Tiada Banding

Suatu ketika, di tengah jalan, Rasulullah berpapasan dengan Umayyah bin Khalaf. Umayyah bin Khalaf adalah seorang pemuda berperangai buruk. Ia suka bermusuhan dan tidak punya rasa takut kepada siapa pun. Sekali pun Umar bin Khatthab dan Hamzah bin Abdul Muththalib telah bergabung dengan pasukan kaum Muslimin. Umayyah menganggap enteng-enteng saja. Dia bahkan telah sesumbar akan membunuh Rasulullah dengan tangannya sendiri.

Oleh karena itu, ketika berpapasan dengan Rasulullah, Umayyah langsung menggertak sambil menunjuk kuda yang dituntunnya, “Aku beri makan kuda ini, tidak lain adalah untuk membunuhmu!”

Rasulullah menatap Umayyah dengan tajam sambil membalas cepat, “Tidak, justru akulah yang akan membunuhmu dengan izin Allah.”

Kini Rasulullah tidak segan lagi menjawab setiap ejekan dan ancaman orang-orang Quraisy. Beliau semakin gencar dan tekun berdakwah tanpa memperdulikan resikonya lagi. Keberanian Rasulullah ini meruntuhkan wibawa musuh-musuh beliau yang selama ini selalu membangga-banggakan diri.

Masyarakat kecil perlahan mulai terpengaruh dengan keberanian Rasulullah ini. Mereka merasa, jika bergabung dengan kaum Muslimin, mereka tidak akan diejek dan disakiti lagi. Kekukuhan hati Rasulullah dalam menghadapi bahaya merambah ke hati orang-orang yang tertindas.

Suatu hari, seorang pria asing menjerit, “Wahai orang-orang Quraisy! Adakah orang yang bersedia menolong diriku? Hakku dirampas oleh Amr bin Hisyam (Abu Jahal)! Aku seorang pendatang dan telah diperlakukan sewenang-wenang!”

Siapa orang Quraisy yang berani menantang keganasan Abu Jahal untuk menolong laki-laki malang ini?

Keberanian Rasulullah

Memang tidak ada yang berani! Tidak seorang pun! Namun, mereka menyarankan kepada laki-laki asing itu,
“Carilah Muhammad dan mintalah tolong kepadanya.”

Walau menyarankan begitu, hampir semua orang yakin, Rasulullah tidak akan mampu melakukannya. Semua tahu bahwa Abu Jahal adalah musuh Rasulullah yang paling jahat dan beringas.

“Ada apa, Saudara? Apa yang bisa kubantu?” Demikian sapa Rasulullah ketika orang asing itu datang.

“Tuan, aku orang asing di sini. Amr bin Hisyam tidak mau membayar unta yang dia beli dariku!”

Rasulullah mengajak lelaki itu ke rumah Abu Jahal. Melihat mereka, orang-orang itu tertawa gaduh. Mereka yakin Muhammad tidak akan punya cukup keberanian untuk menghadapi Abu Jahal. Muhammad pasti akan mengecewakan laki-laki asing itu. Mereka bersiap-siap melontarkan ejekan paling menyakitkan untuk meruntuhkan wibawa Rasulullah di hadapan para pengikutnya.

Ketika Rasulullah dan orang asing itu tiba di rumah Abu Jahal, ia sedang berada ditengah-tengah budak dan para penunggang kudanya. Tiba-tiba pintu diketuk dengan keras. Wajah Abu Jahal memerah menahan marah.

“Siapa yang berani mengetuk pintuku sekeras itu? Tidak tahu dia kalau aku sedang bersama bawahanku! Dengan mudah, mereka bisa kusuruh melumatkan orang itu!” Pikir Abu Jahal

Abu Jahal membuka pintu dan terkejut melihat Rasulullah bersama orang asing itu di depannya. Saat itu wajah Rasulullah tampak sangat penuh percaya diri. Hati beliau sudah bulat untuk membela orang yang teraniaya ini.

Abu Jahal tidak berkata sepatah kata pun. Ia masuk ke rumah dan keluar lagi untuk membayar pembelian unta laki-laki asing itu.

Orang asing itu sangat berterimakasih kepada Rasulullah. Ia segera pergi dan bercerita kepada orang-orang di sekitar Ka’bah. Mau tidak mau, keberanian Rasulullah ini menimbulkan rasa kagum di hati mereka. Mereka yang tadi sudah siap mengejek pun membubarkan diri dengan perasaan bercampur aduk, kesal, geram, tetapi sekaligus hormat dan kagum.

Laki-laki dari Suku Ghifar

Kabar tentang ajaran Islam sudah mulai menyebar ke seluruh pelosok Jazirah Arabia. Suatu hari, datanglah seorang laki-laki berwajah ramah dan bijaksana. Abu Thalib melihatnya, lalu menegur, “Sepertinya Anda laki-laki asing?”

“Betul, namaku Abu Dzarr dari suku Ghifar.”

Sebelum datang sendiri, Abu Dzarr mengutus seorang saudaranya untuk mencari tahu tentang Rasulullah. Sesudah melihat apa yang dilakukan Rasulullah, saudara Abu Dzarr melaporkan,
“Demi Allah, aku telah melihat orang itu menyuruh kepada kebaikan dan mencegah dari keburukan.”

Karena belum puas dengan berita itu, Abu Dzarr pun datang ke Mekah. Ali bin Abu Thalib mengajak Abu Dzarr bermalam di rumahnya. Esok harinya, Ali bertanya kepada Abu Dzarr,
“Jika Anda tidak berkeberatan bercerita, apa yang mendorong Anda datang ke negeri ini?”

“Kalau Anda berjanji untuk merahasiakannya, aku akan menceritakannya.”
Ali mengangguk.

Kemudian, Abu Dzarr berkata,
“Di kampungku, kami mendengar tentang seseorang yang bernama Muhammad. Orang mengatakan bahwa ia membawa ajaran baru. Aku ingin menemuinya. Namun, aku tahu pemerintah Quraisy akan menindak setiap orang asing yang sengaja menemuinya.”

“Ikuti saya,” bisik Ali bin Abu Thalib, “masuklah ke tempat saya masuk. Jika saya melihat orang yang saya khawatirkan akan mengganggu keselamatan Tuan, saya akan merapat ke tembok dan Tuan silahkan berjalan terus.”

Malam itu juga, Abu Dzarr bertemu Rasulullah.

“Hatiku sangat pedih melihat orang-orang kaya yang congkak, budak-budak yang sengsara, kaum perempuan yang tertindas, kaum miskin yang tidak mampu berbuat apa-apa. Apa yang Islam tawarkan untuk mengatasi semua ini?” tanya Abu Dzarr.

Rasulullah menjawab semua pertanyaan itu sampai Abu Dzarr merasa sangat puas. Saat itu juga, Abu Dzarr menyatakan keimanannya dengan semangat menggelora.

Ketika Abu Dzarr berpamitan, Rasulullah berpesan.
“Wahai Abu Dzarr, kembalilah ke masyarakatmu. Kabarkanlah kepada mereka ajaran Islam, dan rahasiakanlah pertemuan kita ini dari penduduk Mekah karena aku khawatir mereka akan mengganggu keselamatanmu.”

Abu Dzar malah pergi ke Ka’bah dan berseru-seru mengajak orang masuk Islam.

Anjuran Bersabar Kepada Abu Dzarr

Suatu hari, Rasulullah bertanya kepada Abu Dzarr,
“Wahai Abu Dzarr, bagaimana pendapatmu jika kamu nanti melihat para pembesar yang mengambil barang upeti untuk mereka pribadi?”

Jawab Abu Dzar,
“Demi yang telah mengutus Anda dengan kebenaran, akan saya tebas mereka dengan pedang saya!”

Sabda Rasulullah,
“Maukah kamu aku beri jalan yang lebih baik dari itu? Bersabarlah sampai kamu menemuiku.”

ان شاءالله
bersambung…
Sumber : Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad ﷺ.
oleh : KH. Munawar Chalil.

Kisah Rasulullah #46

اللَّهُمَّ صَلِّ علَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ

Mengejek Al-Qur’an

أَذَٰلِكَ خَيْرٌ نُزُلًا أَمْ شَجَرَةُ الزَّقُّومِ

(Makanan surga) itu kah hidangan yang lebih baik atau kah pohon zaqqum.
Surah as-Shaffat (37:62)

إِنَّا جَعَلْنَاهَا فِتْنَةً لِلظَّالِمِينَ

Sesungguhnya Kami menjadikan pohon zaqqum itu sebagai siksaan bagi orang-orang yang zalim.
Surah as-Shaffat (37:63)

إِنَّهَا شَجَرَةٌ تَخْرُجُ فِي أَصْلِ الْجَحِيمِ

Sesungguhnya dia adalah sebatang pohon yang ke luar dari dasar neraka yang menyala.
Surah as-Shaffat (37:64)

طَلْعُهَا كَأَنَّهُ رُءُوسُ الشَّيَاطِينِ

Mayangnya seperti kepala syaitan-syaitan.
Surah as-Shaffat (37:65)

Surat ash-shaffat ayat 62-65 menjelaskan tentang makanan orang di neraka berupa buah zaqqum.

Abu Jahal mengatakan bahwa pohon zaqqum itu tentunya seperti kurma Yatsrib yang dapat kamu santap.

Kemudian, Allah menghina Abu Jahal dalam Surat Ad-Dukhan ayat 43 – 49 .

إِنَّ شَجَرَتَ الزَّقُّومِ

Sesungguhnya pohon zaqqum itu,
Surah ad-Dukhan (44:43)

طَعَامُ الْأَثِيمِ

makanan orang yang banyak berdosa.
Surah ad-Dukhan (44:44)

كَالْمُهْلِ يَغْلِي فِي الْبُطُونِ

(Ia) sebagai kotoran minyak yang mendidih di dalam perut.
Surah ad-Dukhan (44:45)

كَغَلْيِ الْحَمِيمِ

Seperti mendidihnya air yang amat panas.
Surah ad-Dukhan (44:46)

خُذُوهُ فَاعْتِلُوهُ إِلَىٰ سَوَاءِ الْجَحِيمِ

Peganglah dia kemudian seretlah dia ke tengah-tengah neraka.
Surah ad-Dukhan (44:47)

ثُمَّ صُبُّوا فَوْقَ رَأْسِهِ مِنْ عَذَابِ الْحَمِيمِ

Kemudian tuangkanlah di atas kepalanya siksaan (dari) air yang amat panas.
Surah ad-Dukhan (44:48)

ذُقْ إِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيزُ الْكَرِيمُ

Rasakanlah, sesungguhnya kamu orang yang perkasa lagi mulia.
Surah ad-Dukhan (44:49)

Abdullah bin Ummi Maktum

Seorang buta bernama Abdullah bin Ummi Maktum bertanya,
“Ada seseorang bernama Muhammad yang membawa ajaran baru?” Temannya mengiyakan.

“Ajaran yang mengajak meyembah Tuhan Yang Mahatinggi?” tanya Abdullah bin Ummi Maktum lagi.

“Benar”

“Tuhan itu tidak bisa diraba seperti berhala?”

“Betul, Abdullah. Begitulah yang diajarkannya.”

Abdullah bin Ummi Maktum termenung sambil menggosok-gosok ujung jemari tangannya.

“Tuhan yang tidak bisa diraba?” Pikir Abdullah bin Ummi Maktum.
“Padahal ujung jariku ini sudah mengenal betul berhala-berhala. Aku bahkan bisa membedakan Latta dan Uzza dengan memegang hidung mereka. Seandainya aku bisa bertemu sendiri dengan Muhammad!”

Dipenuhi rasa ingin tahu yang besar, Abdullah bin Ummi Maktum menemui Rasulullah. Sayang sekali, saat itu Rasulullah sedang menyampaikan ayat-ayat al-Qur’an kepada Walid bin Mughirah. Ia adalah seorang pembesar Quraisy yang sangat diharapkan keislamanannya.

Akan tetapi, Abdullah bin Ummi Maktum tidak mengetahui kehadiran Walid, karena buta. Dia terus mendesak, mendesak dan mendesak Rasulullah agar saat itu juga menerangkan tentang Islam kepadanya.

Karena tidak tahan didesak terus, sedangkan beliau sedang mendakwahi seorang tokoh penting, Rasulullah membuang wajah beliau.

Saat itu, firman Allah turun untuk menegur beliau.
(QS ‘Abasa, 80 ayat 1-6)

عَبَسَ وَتَوَلَّىٰ

Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling.
Surah ‘Abasa (80:1)

أَنْ جَاءَهُ الْأَعْمَىٰ

Karena telah datang seorang buta kepadanya.
Surah ‘Abasa (80:2)

وَمَا يُدْرِيكَ لَعَلَّهُ يَزَّكَّىٰ

Tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa).
Surah ‘Abasa (80:3)

أَوْ يَذَّكَّرُ فَتَنْفَعَهُ الذِّكْرَىٰ

atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfaat kepadanya?
Surah ‘Abasa (80:4)

أَمَّا مَنِ اسْتَغْنَىٰ

Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup.
Surah ‘Abasa (80:5)

فَأَنْتَ لَهُ تَصَدَّىٰ

maka kamu melayaninya.
Surah ‘Abasa (80:6)

Demikianlah, Allah sangat menjaga utusan-Nya dari kesalahan, bahkan untuk kesalahan sekecil itu. Apalagi Rasulullah adalah orang yang sangat halus perasaanya sehingga jika akan merugikan orang miskin atau orang lemah, beliau merasa takut.

Karena Dengki

Kebanyakan para pembesar Quraisy tidak mau mengikuti Nabi bukan karena lebih yakin dengan berhala, melainkan lebih karena dengki. Mengapa Muhammad diangkat menjadi Nabi, bukan mereka.

Walid bin Mughirah berkata, “Wahyu didatangkan kepada Muhammad bukan kepadaku, padahal aku kepala dan pemimpin Quraisy, juga tidak kepada Abu Mas’ud Amr bin Umair ats-Tsaqafi sebagai pemimpin Tsaqif. Kami adalah pembesar-pembesar dua kota.”

ان شاءالله
bersambung…

Kisah Rasulullah #44

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ مُحَمد

Derita Pemboikotan

Pemboikotan kecil kecilan terhadap kaum Muslimin sebenarnya telah lama dijalankan. Kalau ada seseorang saudagar menjadi Muslim, Abu Jahal akan mengatakan, “Akan kami boikot barang-barangmu dan mengubahmu sampai jadi pengemis.”

Rasulullah ﷺ, Bani Hasyim dan kaum Muslimin diasingkan ke dalam Syi’ib, benteng kecil milik Abu Thalib. Kaum Quraisy menegaskan bahwa jika Bani Hasyim menyerahkan Rasulullah ﷺ, pemboikotan kepada mereka akan dicabut. Namun, bukannya merasa takut, Bani Hasyim malah semakin setia kepada Rasulullah ﷺ yang merupakan anggota keluarga mereka.

Pemboikotan ini berjalan tiga tahun lamanya. Selama itu, hanya musim haji saja Rasulullah ﷺ dan para pengikutnya bebas berdakwah keluar Syi’ib. Itu pun selalu diikuti Abu Lahab sambil mengolok-olok Rasulullah ﷺ dengan kata-kata kasar. Pada musim haji itu, Mekah ramai didatangi para peziarah dari pelosok jazirah.

Akibat adanya pelarangan hubungan dagang, saat itu, Rasulullah ﷺ tidak dapat membeli makanan yang cukup. Pada waktu-waktu yang sulit, mereka sering terpaksa makan daun daunan dan kulit-kulit pohon yang tipis. Anak-anak menangis pada malam hari karena kelaparan. Semetara itu, orang-orang dewasa mengganjal perutnya dengan batu agar tidak masuk angin.

Perbuatan kejam itu juga menimbulkan rasa kasihan sebagian orang Quraisy. Apalagi yang memiliki hubungan saudara dengan Bani Hasyim. Orang-orang itu sering dengan berbagai cara menolong keluarga mereka di dalam Syi’ib.

Suatu ketika Abu Jahal sedang meronda di sekitar Syi’ib, memergoki Hakim bin Hisyam bin Khuwailid dan budak laki-lakinya berusaha meyelundupkan gamdum dan makanan lain untuk bibinya yang tidak lain Khadijah istri Rasulullah ﷺ.

Tanpa ampun, Abu Jahal memukuli budak laki-laki itu dan merampas karung gandumnya.

“Aku bersumpah….!” teriak Abu Jahal terengah-engah sambil terus memukul. “Aku bersumpah tidak seorang pun dapat menyelundupkan makanan kepada Muhammad!”

Pada saat itu, Al Bakhtari datang sambil berseru kepada Abu Jahal. ” Hei makanan ini tadinya milik bibinya. Bibinya lalu mengirimkan kepadanya, mengapa engkau melarangnya mengantarkan makanan tersebut kepada bibinya lagi?”

Kemudian keduanya berkelahi Abu Jahal terluka karena dipukul dengan tulang unta.

Syi’ib Abu Thalib

Syi’ib Abu Thalib, tempat kaum muslimin digiring, dikurung dan dijaga, dikelilingi dinding batu tinggi yang tidak dapat dipanjat. Letaknya di Bukit Abu Qubays, sebelah timur Mekah. Pintu masuknya berupa celah sempit dengan tinggi kurang dari dua meter yang hanya dapat dimasuki unta dengan susah payah.

Derita di Pengasingan

“Ibuuu aku lapar,”…tangis seorang anak di dalam Syi’ib.

“Besok ya nak! Besok kita dapat kiriman makanan,” jawab ibunya.

“Tidak mau, aku mau makan sekaraaaang…..” Karena tidak kuat menahan perutnya yang perih, anak itu menangis dan menjerit-jerit.

Tangis dan jerit anak-anak terdengar hampir setiap malam dari dalam Syi’ib. Sebagian penduduk Mekah mulai tidak tega melihat penderitaan Bani Hasyim, tetapi mereka takut untuk membantu.

Ada empat ratus orang keluarga Bani Hasyim yang bertahan di dalam Syi’ib. Kehidupan mereka begitu keras dan penuh dengan kekurangan, tetapi tidak satupun yang berniat mengkhianati Rasulullah ﷺ. Padahal, tidak semua anggota keluarga telah memeluk agama Islam, termasuk Abu Thalib, sang pemimpin Bani Hasyim.

Kehadiran Rasulullah ﷺ di tengah-tengah mereka sudah cukup membuat mereka lupa akan segala kecemasan dan membuat mereka selalu berbahagia. Mereka mengerti bahwa Allah telah memilih mereka untuk melindungi utusan-Nya dari semua musuh. Bagi Bani Hasyim, itu sebuah kehormatan yang membuat mereka tidak mau menukar Rasulullah dengan apa pun, bahkan dengan sebuah kerajaan sekali pun. Mereka bahkan menjalankan tahun-tahun pengasingan yang pahit itu dengan rasa bangga.

Tidak satu pun dari empat ratus orang itu berniat untuk menyelamatkan dirinya sendiri. Padahal, mereka tidak tahu kapan pengasingan itu akan berakhir. Hari demi hari, minggu demi minggu, bulan demi bulan dijalani dengan penuh harapan. Mereka semua sudah bertekad mengikuti Rasulullah ﷺ kemana pun. Mereka lebih suka menjadi tawanan dari pada bebas tanpa Rasulullah. Bagi mereka, hidup tanpa Rasulullah ﷺ adalah hidup yang tidak layak di jalani.

Selama masa-masa sulit itu, ada sosok penting selain Rasulullah ﷺ yang menjadi sosok teladan bagi semua penghuni Syi’ib, bagaimana mereka harus menjalani hidup dengan penuh ketabahan.

(Bersambung)

Kisah Rasulullah #42

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ مُحَمد

Jawaban Kaum Muslimin

Saat itu, yang menjadi juru bicara kaum Muslimin adalah sepupu Rasulullah yang amat tampan, Ja’far bin Abu Thalib.

“Paduka Raja,” Ucap Ja’far penuh hormat,
“ketika itu, kami masyarakat yang bodoh, kami menyembah berhala, bangkai pun kami makan, segala kejahatan kami lakukan, memutuskan hubungan dengan kerabat, dengan tetangga pun kami tidak baik, yang kuat menindas yang lemah.
Demikian keadaan kami sampai Tuhan mengutus seorang utusan-Nya dari kalangan kami yang sudah kami kenal asal-usulnya. Dia jujur, dapat dipercaya, dan bersih pula.
Dia mengajak kami menyembah Allah Yang Mahatunggal, meninggalkan batu-batu dan patung-patung yang selama ini kami dan nenek moyang kami menyembah.
Dia menganjurkan kami untuk tidak berdusta, untuk berperilaku jujur, mengadakan hubungan baik dengan keluarga dan tetangga, menyudahi pertumpahan darah, serta menghentikan perbuatan terlarang lainnya.
Dia melarang kami melakukan segala kejahatan dan menggunakan kata-kata dusta, melarang memakan harta anak yatim, dan melarang mencemarkan perempuan-perempuan bersih.
Dia minta kami menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya. Selanjutnya, disuruhnya kami melakukan shalat, zakat, dan shaum (lalu Ja’far menyebut beberapa ketentuan Islam).
Kami pun membenarkannya. Kami turut segala yang diperintahkan Allah. Lalu, yang kami sembah hanya Allah Yang Mahatunggal, tidak menyekutukan-Nya dengan apa dan siapa pun juga.
Segala yang diharamkan kami jauhi dan yang dihalalkan kami lakukan. Oleh karena itulah, masyarakat kami memusuhi kami, menyiksa kami, dan menghasut kami, dan supaya kami meninggalkan agama kami dan kembali menyembah berhala supaya kami membenarkan segala keburukan yang pernah kami lakukan dulu.
Oleh karena mereka memaksa kami, menganiaya kami, menekan kami, dan menghalang-halangi kami dari agama kami, maka kami pun keluar, pergi ke negeri Tuan ini. Tuan jugalah yang menjadi pilihan kami. Senang sekali kami berada di dekat Tuan, dengan harapan, di sini tidak akan ada penganiayaan.”

Najasyi mendengarkan penuh dengan kesungguhan, lalu katanya, “Adakah ajaran Tuhan yang dibawanya itu yang dapat Tuan-tuan bacakan kepada kami?”

Surat Maryam

“Ya,” jawab Ja’far.
Lalu, ia membaca surat Maryam, ayat 29-33:

فَأَشَارَتْ إِلَيْهِ ۖ قَالُوا كَيْفَ نُكَلِّمُ مَنْ كَانَ فِي الْمَهْدِ صَبِيًّا

maka Maryam menunjuk kepada anaknya. Mereka berkata: Bagaimana kami akan berbicara dengan anak kecil yang masih di dalam ayunan?
Surah Maryam (19:29)

قَالَ إِنِّي عَبْدُ اللَّهِ آتَانِيَ الْكِتَابَ وَجَعَلَنِي نَبِيًّا

Berkata Isa: Sesungguhnya aku ini hamba Allah, Dia memberiku Al Kitab (Injil) dan Dia menjadikan aku seorang nabi,
Surah Maryam (19:30)

وَجَعَلَنِي مُبَارَكًا أَيْنَ مَا كُنْتُ وَأَوْصَانِي بِالصَّلَاةِ وَالزَّكَاةِ مَا دُمْتُ حَيًّا

dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkati di mana saja aku berada, dan Dia memerintahkan kepadaku (mendirikan) shalat dan (menunaikan) zakat selama aku hidup;
Surah Maryam (19:31)

وَبَرًّا بِوَالِدَتِي وَلَمْ يَجْعَلْنِي جَبَّارًا شَقِيًّا

dan berbakti kepada ibuku, dan Dia tidak menjadikan aku seorang yang sombong lagi celaka.
Surah Maryam (19:32)

وَالسَّلَامُ عَلَيَّ يَوْمَ وُلِدْتُ وَيَوْمَ أَمُوتُ وَيَوْمَ أُبْعَثُ حَيًّا

Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari aku dilahirkan, pada hari aku meninggal dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali.
Surah Maryam (19:33)

Ayat-ayat Al-Qur’an itu membenarkan kitab Injil. Semua pemuka istana dibuat terkejut. Mereka berkata,

“Itu kata-kata yang keluar dari sumber yang mengeluarkan kata-kata Isa Al Masih.”

Penuh haru, Najasyi membenarkan para pembesar istananya,

“Kata- kata ini dan yang dibawa oleh Musa, keluar dari sumber cahaya yang sama.”

Najasyi berpaling kepada kedua utusan Quraisy,

“Pergilah. Kami takkan menyerahkan mereka kepada Tuan-Tuan!”

Kaum Muslimin saling berpandangan penuh syukur. Sementara itu, Amr bin Ash dan Abdullah bin Rabi’ah berjalan keluar istana dengan wajah murung.

“Tidak bisa begini,” keluh Abdullah.
“Tidak bisa kita jauh-jauh datang kesini untuk kemudian pulang dengan tangan hampa dan terhina.”

Amr bin Ash, yang terkenal lihai dalam bersiasat, merenung sejenak.

“Rasanya, aku masih punya siasat lain,” katanya. “Namun, biar kita kembali esok hari. Biarkan para pengikut Muhammad itu merasa senang. Besok, akan kita kejutkan mereka dengan pertanyaan yang akan kita ajukan kepada Najasyi.”

(Bersambung)

Kisah Rasulullah #39

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ مُحَمد

Berita untuk Umar

Umar melanjutkan langkahnya menuju Darul Arqam.
“Sudah jelas, Muhammad-lah yang menyebabkan semua kesengsaraan ini! Aku harus membunuhnya agar Mekah kembali damai dan tenang. Mengenai Hamzah, aku akan bertarung dengannya. Aku yang mati atau Hamzah yang mati, itu tidak terlalu membuatku risau.”

Tiba-tiba, lamunannya buyar ketika Nu’aim bin Abdullah menegurnya, “Hendak kemana, wahai putra Khattab?”

“Aku akan menemui Muhammad! Dia yang menukar agama nenek moyang kita. Dia yang memecah belah masyarakat Quraisy. Dia memiliki banyak angan-angan bodoh. Dia yang mencaci tuhan-tuhan kita. Untuk semua kesalahannya itu, aku akan menebas lehernya!”

“Demi Allah, engkau telah tertipu oleh dirimu sendiri, wahai Umar! Apakah tindakanmu membunuh Muhammad akan dibiarkan saja oleh Bani Abdi Manaf? Tidakkah lebih baik engkau pulang dan mengurusi keluarga mu sendiri?”

Umar berhenti melangkah dan bertanya tajam, “Keluarga ku yang mana?”
“Saudara sepupumu sendiri, Sa’id bin Zaid bin Ammar dan istrinya yang tak lain adalah adik perempuanmu, Fathimah binti Khattab. Mereka telah mengikuti ajaran Muhammad, urusi saja mereka dulu!”

Umar segera membalikkan badan dan melangkah cepat menuju ke rumah adiknya.

“Kalau itu benar, aku akan bertindak pada Sa’id bin Zaid seperti yang pernah dilakukan oleh ayahku yang garang. Al Khattab, kepada ayah Sa’id, Zaid bin Ammar! Berani-beraninya dia memeluk Islam, sedangkan dia tahu aku membenci agama itu!”

Dengan keras, Umar bin Khattab menggedor pintu rumah Sa’id bin Zaid dan Fatimah. Suaranya berdentum-dentum keras mengejutkan siapa saja yang ada di dalam rumah. Sudah bisa diduga, kali ini akan jatuh lagi korban dalam penganiayaan yang menimpa kaum Muslimin.

Amuk Umar bin Khattab

Di dalam rumah, Sa’id dan Fathimah binti Khattab sedang mengikuti ayat Al Qur’an yang dibacakan oleh Khabbab bin Al Arat. Begitu pintu berguncang diketuk Umar, Sa’id dan Fathimah segera menyembunyikan Khabbab. Fathimah segera menyembunyikan lembaran-lembaran yang tadi mereka baca di bawah pahanya.

Sa’id membuka pintu dan Umar bergegas masuk.
“Suara apa yang baru kudengar itu?” bentak Umar.

” Tidak…. kami tidak mendengar suara apa pun tadi “

Seketika amarah Umar bin Khattab meledak, “Kudengar kalian telah mengikuti ajaran Muhammad!”

Belum sepatah kata pun keluar dari mulut kedua suami istri itu, pedang Umar sudah terayun dan gagangnya mengenai Sa’id hingga ia jatuh terjerembab di lantai dan luka. Melihat suaminya berdarah, Fathimah bangkit berusaha melerai, tetapi tangan Umar cepat sekali menampar wajahnya.

Fathimah jatuh di samping suaminya dengan darah mengucur dari wajahnya.
Meski garang, Umar terkenal lembut dan penyayang kepada keluarganya sendiri. Melihat darah Fathimah, Umar tertegun.

“Fathimah berdarah,” pikirnya, “Mengapa aku bisa sampai begitu? Aku menyayangi adikku itu sepenuh hati, bahkan lebih mirip rasa sayang antara ayah kepada putrinya!”

Fathimah yang lembut dan biasanya selalu patuh kepada Umar, kali ini mengangkat wajah, menentang langsung paras kakaknya itu.

“Baiklah,” seru Fathimah
“lakukanlah apa saja yang engkau kehendaki!”

Fathimah sudah siap menghadapi berbagai kemungkinan yang akan terjadi. Ia siap disiksa oleh kakaknya sendiri yang dari kecil begitu menyayanginya, ia bahkan siap untuk mati. Kedua tangannya terentang, seolah siap menerima tikaman pedang Umar ke dadanya.

Al Qur’an bukan Mantra Syair

Suatu malam, Umar bin Khattab diam-diam mendengar Rasulullah ﷺ membaca Al Qur’an pada malam hari, Umar terpesona. Namun, ia berkata dalam hati, “Ah, ini pasti ucapan seorang penyair”. Bisik hati Umar.

Saat itu Rasulullah ﷺ membaca surah Al Haqqah ayat 41,

وَمَا هُوَ بِقَوْلِ شَاعِرٍ ۚ قَلِيلًا مَا تُؤْمِنُونَ

“Dan Al Quran itu bukanlah perkataan seorang penyair. Sedikit sekali kamu beriman kepadanya.”

Kembali, Umar bin Khattab diam-diam datang ke rumah Rasulullah pada tengah malam dan mendengar Rasulullah membaca Al Qur’an. Umar berkata dalam hati, “Kalau ini bukan ucapan tukang tenung, ini pasti ucapan Muhammad, bukan Firman Tuhan.”
Namun, sesegera itu juga, Rasulullah membaca Surah Al Haqqah ayat 43:

تَنْزِيلٌ مِنْ رَبِّ الْعَالَمِينَ

“Ia (Al Qur’an) adalah wahyu yang diturunkan dari Tuhan seluruh alam.”

(Bersambung)

Kisah Rasulullah #38

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ مُحَمد

Ke Habasyah

Gangguan terhadap kaum Muslimin semakin berat dari hari ke hari. Bahkan, beberapa orang gugur karena disiksa terlalu keras. Berdasarkan wahyu dari Allah, Rasulullah pun memerintahkan agar mereka berhijrah.

“Wahai Rasulullah, ke mana kami akan pergi?”

Rasulullah menasehati agar mereka pergi ke Habasyah yang rakyatnya menganut agama Kristen.

“Tempat itu diperintah oleh seorang raja dan tidak ada orang yang dianiaya di situ. Itu bumi yang jujur, sampai nanti Allah membukakan jalan buat kita semua,” demikian sabda Rasulullah.

Mematuhi perintah Rasulullah, berangkatlah rombongan pertama kaum Muslimin ke Habasyah pada bulan Rajab, tahun ke lima kenabian. Rombongan itu terdiri atas 12 orang pria dan 4 perempuan. Dengan sembunyi sembunyi, mereka meninggalkan Mekah, menyeberangi laut ke benua Afrika, dan tiba di pantai Habasyah. Seperti yang dikatakan Rasulullah, Najasyi, Raja Habasyah itu, memberi mereka perlindungan dan tempat yang baik.

Kelak, ketika mendengar bahwa orang Quraisy tidak lagi menyiksa kaum Muslimin, mereka kembali pulang. Namun, ternyata berita itu tidak benar.
Di Mekah, keadaan justru semakin buruk bagi kaum Muslimin. Mereka pun berangkat kembali ke Habasyah, kali ini dengan jumlah rombongan yang lebih besar, terdiri atas 83 orang pria dan 18 wanita dipimpin oleh Ja’far bin Abu Thalib.

Habasyah

Saat itu Habasyah adalah negara yang meliputi bagian selatan Mesir, Erytrea, Ethiopia, dan Sudan. Habasyah artinya ‘persekutuan’. Dahulu Habasyah bersekutu dengan kerajaan Saba atau Himyar. Kaum Muslimin berangkat dari Teluk Syu’aibah, sebelah selatan Jeddah.

Amarah Umar

Umar bin Khattab duduk termenung di rumahnya. Di seluruh Mekah, tidak ada seorang pun yang mampu melunakkan hati Umar. Ia begitu cepat naik pitam dan garang. Ia tidak pernah luluh oleh rayuan gadis-gadis penghibur setiap kali ia mendatangi para penjual khamr.
Ia tidak pula pernah terbujuk ikut bergabung dengan para pejalan malam yang suka bergerombol di pelataran rumah sambil mendengarkan para penabuh rebana.

Segalanya tidak mampu melembutkan kekerasan hatinya yang suka bertindak garang dan menakutkan.

Namun kini, ia tengah duduk termenung sendiri.

“Hamzah, apa yang terjadi padamu? Engkau menaklukkan dan mempermalukan Abu Jahal, temanmu sendiri! Apa yang membuatmu jadi seperti ini? Bahkan, engkau berani meninggalkan agama nenek moyang kita dan bergabung dengan Muhammad! Ini jelas akan membuat pengikut agama baru ini jadi sombong dan besar kepala!
Hamzah, bukankah engkau, Abu Jahal, Khalid bin Walid dan aku telah bersama membuat Quraisy jadi suku paling disegani? Semua itu berkat kerja keras dan keuletan kita berempat. Suku-suku yang lain iri kepada Quraisy karena Quraisy memiliki kita.
Ini semua gara-gara Muhammad! Hamzah tidak lagi mau minum minum bersamaku. Betapa sepinya malam malam tanpa Hamzah!”

“Muhammad, engkau membuat pusing kepala orang-orang miskin, para budak, buruh kasar, dan para perempuan lemah! Engkau membuat mereka berani menentang para majikan! Apa yang engkau sampaikan pasti sebuah sihir.
Muhammad, tegakah engkau melihat para pengikut mu pergi meninggalkan tanah air nya ke Habasyah yang begitu jauh?
Ini benar-benar keterlaluan! Aku harus membunuh Muhammad sekarang juga! Meski aku harus berhadapan dengan Hamzah, aku akan membunuhmu dan membuat Mekah kembali seperti dulu!”

Setelah berpikir begitu, Umar bin Khattab mencabut pedangnya. Amarahnya dengan cepat naik ke ubun-ubun. Dengan langkah-langkah yang tidak bisa dirintangi, Umar berjalan cepat menuju Darul Arqam. Matanya mengandung api dan pedangnya membara! Tidak seorang pun bisa menghalangi Umar jika ia sudah bertekat dengan sunguh sunguh!

Duka Umar

Ummu Abdillah adalah seorang perempuan tua. Ia juga tetangga Umar bin Khattab. Setelah ia sekeluarga memeluk Islam, Umar suka mengganggunya. Padahal sebelum itu, Umar cukup hormat dan bahkan menyayanginya.
Saat itu, Ummu Abdillah tengah membereskan barang-barang untuk dibawa hijrah ke Habasyah. Tiba-tiba, hatinya berdebar. Ia melihat Umar bin Khattab melangkah dengan pedang terhunus! Karena tidak ada waktu lagi untuk lari ke dalam rumah, Ummu Abdillah bersembunyi di balik barang-barangnya. Hatinya berdebar tidak karuan. Tanpa sadar, ia menahan napas ketika Umar semakin mendekat.

Akan tetapi, Umar melihatnya dan berhenti.

“Jadi engkau benar benar akan berangkat, wahai Ummu Abdillah?”

Ummu Abdillah keluar dari tempat persembunyiannya. Ia heran karena suara Umar tidak terdengar marah seperti biasanya.

“Ya, demi Allah. Engkau telah menyakitiku dan menindasku. Aku akan benar-benar pergi ke bumi Allah hingga Allah memberikan jalan keluar bagiku,” sahut Ummu Abdillah.

Sesaat, Umar tampak merenung, “Ini dia tetanggaku, mereka akan pergi juga meninggalkan Mekah.”

Umar berpaling, menatap wajah tua Ummu Abdillah dan berkata dalam hati, “Begitu jauh jalan yang akan ditempuh orang tua ini, begitu sedikit barang yang bisa dibawanya.”

Akhirnya Umar melangkah pergi sambil berkata parau, “Semoga Allah senantiasa menyertaimu.”

Ummu Abdillah terpana. Belum pernah Umar berlaku selembut ini sejak mereka memeluk Islam.

“Tidakkah engkau melihat kelemahlembutan dan kedukaan Umar terhadap kita?” tanya Ummu Abdillah kepada putranya.

“Apakah Ibu berharap ia akan memeluk Islam?” tanya sang putra. “Dia tidak akan pernah memeluk Islam sebelum keledai bapaknya juga masuk Islam!”

(Bersambung)

Kisah Rasulullah #36

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ مُحَمد

Singa Padang Pasir

Orang-orang terus menertawakan Rasulullah setiap kali lewat. “Pembohong besar! Orang gila! Tukang sihir!”

Abu Jahal terus menyemangati orang orang yang mengejek sambil kerap kali melontarkan caci maki juga.

Rasulullah mendadak berhenti melangkah. Beliau berpaling dengan tenang menghadap Abu Jahal, dengan sorot matanya tajam. Abu Jahal berhenti dan terdiam. Dengan wajah sayu penuh belas kasihan, Rasulullah memandang orang-orang kecil yang mengejeknya. Seketika, sorak-sorai pun mereda. Semua orang yang berada di sekitar tempat itu terpesona melihat keadaan Rasulullah. Baru kali ini mereka seolah disadarkan, betapa menyakitkannya ejekan mereka itu diterima Rasulullah.
Sorot mata Rasulullah seolah berkata, “Mengapa kalian mengejekku? Bukankah aku sedang berjuang menyelamatkan kalian dari kekejaman bangsa Quraisy dengan membawa Islam yang mulia? Seandainya kalian tahu, ejekan Abu Jahal itu tidak begitu menyakitkan dibanding kata-kata kalian, sebab kepada kalianlah Allah meyuruhku menebar kasih sayang.”

Tanpa sepatah kata pun, Rasulullah berlalu. Orang-orang bubar dengan membawa perasaan masing masing. Tatapan Rasulullah tadi sangat berkesan di hati seorang budak perempuan. Ketika budak itu berjalan pulang, ia melihat Hamzah bin Abdul Muthalib datang.

Hamzah adalah paman Nabi, usia mereka hampir sebaya. Dari kecil, Rasulullah dan Hamzah dibesarkan bersama, bermain bersama, dan menjadi sahabat karib. Karena itulah Hamzah begitu menyayangi Rasulullah.

Hamzah berjalan gagah dan bangga memasuki Mekah. Ia betul-betul laki-laki perkasa dengan perawakan tinggi dan kekar. Dengan wajah angkuh, Hamzah melangkah sambil menyandang busurnya. Ia habis berburu.

Orang-orang yang melihatnya pun berbisik kagum. Namun, budak perempuan tadi merasa ada yang janggal, mengapa orang segagah ini tidak membela Muhammad, keponakannya sendiri?
Mengapa ia bisa setenang itu?
Tahukah ia bahwa Muhammad keponakannya, dicaci maki orang?
Muhammad dihina pemimpin kabilah lain yang menjadi saingan Bani Hasyim!
Pantaskah ia disebut sebagai pemuda perkasa yang pantang menyerah pada lawan, sedangkan ia tidak berbuat apa pun ketika seorang keluarga Bani Hasyim dicaci maki orang?

Dengan dada hampir meluap, budak perempuan itu menegur Hamzah, “Tuan, tidak tahukah Anda apa yang menimpa kemenakanmu itu?”

Hamzah berhenti dan budak perempuan itu menceritakan apa yang dilihatnya. Dalam sekejap saja, wajah Hamzah memerah. Tanpa berkata apa pun, ia berbalik menuju Ka’bah dengan langkah bergegas. Ia mencari Abu Jahal.

Kebimbangan Hamzah

Di depan Ka’bah, Abu Jahal bercerita kepada beberapa temannya, “Puas rasanya melihat Muhammad dicaci begitu banyak orang”, ujar Abu Jahal, “Kalau kuberi semangat sedikit lagi, bukan tidak mungkin mereka akan memukulinya.”

Teman-temannya terlihat ikut bersemangat. Beberapa orang mulai ikut bicara, tetapi mendadak semuanya terdiam dan memandang ke satu arah. Abu Jahal ikut menoleh dan seketika kerongkongannya tercekat. Hamzah bin Abdul Muthalib, sang pahlawan Bani Hasyim, menjulang di belakangnya dengan mata menyala tanpa ampun.

“Beraninya engkau mencaci maki Muhammad, padahal aku telah memeluk agamanya? Coba lakukan penghinaanmu kepadaku jika engkau benar-benar jantan!”

Setelah berkata begitu, Hamzah melayangkan busurnya. Bunyinya mendecit, cepat , dan keras sehingga kepala Abu Jahal pun terluka.

Beberapa teman Abu Jahal serempak berdiri. Tampaknya, perkelahian tidak terhindarkan lagi. Ketika Abu Jahal melihat ini, ia mengangkat tangan untuk mencegah teman temannya. Abu Jahal yakin, dalam keadaan seperti itu, Hamzah tidak akan ragu-ragu membunuh orang.

Dengan napas tersengal, Abu Jahal memegangi kepalanya. Ia berkata sambil menahan marah, “Kita tinggalkan saja dia! Aku memang telah mencaci maki kemenakannya.”

Mereka pun pergi dengan geram dan murung. Namun, hati Hamzah belum lagi lega. Ia pulang dengan bimbang, “Mengapa begitu mudah kutinggalkan agama nenek moyangku?”

Setelah melewati malam yang gelisah, Hamzah akhirnya berdoa, “Ya Tuhan, jika Muhammad benar, teguhkanlah hatiku. Jika Muhammad salah, jauhkanlah aku darinya!”

Hamzah menemui Rasulullah dengan sedih dan menceritakan semua kegelisahan hatinya. Rasulullah lalu membacakan beberapa ayat Al Qur’an.

Perlahan, hati Hamzah dipenuhi rasa tenang, haru, dan kagum. Dengan bulat hati, ia pun berkata,

“Aku menyaksikan bahwa engkau itu sungguh benar, maka itu tampakkanlah agamamu, hai anak saudaraku!”

Bukan main bersyukurnya Rasulullah. Kini, Islam telah memiliki benteng yang kuat dalam menghadapi kekerasan Quraisy. Hamzah memeluk Islam pada akhir tahun ke enam kenabian (nubuwwah).

Orang-orang Quraisy tidak putus asa, Mereka mempunyai cara lain untuk menekan perjuangan Rasulullah.

Singa Allah dan Singa Rasul-Nya

Kemudian seluruh kegagahan Hamzah dibaktikannya untuk membela Allah dan agama-Nya, sehingga Rasulullah memberi Hamzah julukan istimewa, Singa Allah dan Singa Rasulullah. Hamzah adalah komandan Sariyah yang pertama.
Sariyah adalah pasukan Muslim yang berangkat tanpa disertai Rasulullah.

(Bersambung)

Kisah Rasulullah #35

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ مُحَمد

Darul Arqam

Waktu terus berjalan. Kegigihan dakwah Rasulullah ﷺ mulai berbuah, sedikit demi sedikit, para pemeluk Islam mulai bertambah. Rumah Rasulullah yang kecil itu mulai terasa sempit.

“Ya Rasulullah, alangkah baiknya jika kita memindahkan tempat pertemuan ke rumahku,” usul Arqam. “Rumahku cukup luas untuk menampung jumlah kita yang sudah puluhan orang. Lagi pula, letaknya ada di puncak bukit. Orang-orang jahat tidak mudah mencapai tempat itu untuk mengganggu kita.”

Rasulullah pun setuju. Oleh karena itu, pertemuan setiap malam pun pindah ke rumah Arqam. Sebagian pemeluk Islam waktu itu adalah orang-orang lemah: para budak, buruh, orang miskin, perempuan perempuan fakir, serta orang tertindas lain. Sisanya adalah golongan orang terpelajar dan pedagang kaya.

Sebenarnya, kebanyakan pedagang mulanya agak ragu.

“Bagaimana jika nanti ajaran baru ini menutup Mekah dari rombongan saudagar dari tempat-tempat lain? Kalau demikian yang terjadi, kita akan bangkrut.” Ujar seorang pedagang.

Namun, keraguan itu ditepis Rasulullah. Islam tidak akan menutup Mekah. Islam juga tidak akan mengubah musim ziarah ketika justru banyak pedagang mancanegara berdatangan ke Mekah. Islam tidak melarang semua itu.

Hal yang dilarang adalah:

  1. Menyembah berhala
  2. Menyerahkan persembahan dan korban kepada bangsawan Quraisy
  3. Bertelanjang ketika thawaf di Ka’bah
  4. Menyelenggarakan pelacuran
  5. Mengeluarkan kata kata kotor dan tindakan buruk lain saat melaksanakan ziarah

Rencana Para Pemuka Quraisy

Setelah mendengar penjelasan Rasulullah, para pedagang pun merasa lega. Kebanyakan mereka bukan pedagang budak dan tidak menarik untung dari korban yang dipersembahkan untuk bangsawan-bangsawan Quraisy. Iman mereka pun semakin kuat.

Melihat Islam semakin dicintai para pengikutnya, para pembesar Quraisy pun menyusun rencana lain…

“Apa yang harus kita lakukan?” teriak seorang pemuka Quraisy.
“Abu Bakar dan teman-temannya terus membebaskan budak budak kita! Tidak ada jalan lain, bunuh budak budak itu agar yang lain ketakutan!”

“Tidak,” geleng Abu Jahal lemah. “Sumayyah telah kubunuh, tapi itu tidak membuat yang lain takut. Cari saja cara yang lain!”

Seorang pemuka Quraisy berdiri cepat,
“Pukuli Muhammad sampai remuk! Dengan demikian, wibawanya akan hancur dan pengikutnya pun bubar ketakutan!”

“Namun, keluarga Muhammad dari Bani Hasyim akan membelanya!” lengking yang lain.

“Siapa? Abu Thalib sudah terlalu tua! Yang harus kita takuti dari Bani Hasyim adalah Hamzah! Namun, engkau lihat sendiri, Hamzah sibuk berfoya-foya sendiri! Ia tidak peduli pada nasib keponakannya itu! Pilihlah dua orang yang paling ditakuti di Mekah untuk melaksanakan tugas ini!”

Sejenak, orang-orang terdiam sambil memandang berkeliling. Kemudian, seorang dari mereka menunjukkan jarinya kepada pemuda bertubuh tinggi besar,
“Engkau, Umar bin Khattab! Engkau dan Abu Jahal! Tidak ada orang lain yang berani melawan kalau kalian memukuli Muhammad!”

Orang-orang berseru “setuju.”

“Sabar,” tiba-tiba seseorang berseru,
“langkah awal bukanlah serangan fisik! Hancurkan dulu wibawanya! Ku usulkan agar kita suruh para budak melempari Muhammad dan meneriakinya sebagai pembohong, orang gila, dan tukang sihir!”

Usul itu disetujui. Mulai hari itu, setiap Rasulullah melewati jalan-jalan di Mekah, para budak, para wanita yang nasibnya justru sedang diperjuangkan Rasulullah, meneriaki beliau,
“Pembohong besar! Orang gila! Tukang sihir!”

Suara mereka keras dan tajam layaknya orang sedang mengusir kucing yang masuk dapur. Kemudian, apa yang terjadi jika Abu Jahal atau Umar mulai memukuli Rasulullah

Kuda Jantan

Saat itu merupakan masa yang berat bagi Rasulullah. Beliau pergi ke sebuah tempat yang teduh, berbaring di atas batu, dan berusaha menahan air matanya agar tidak jatuh. Tidak ada yang lebih menyakitkan dibanding cacian dan celaan dari orang-orang yang justru sedang diperjuangkan Rasulullah mati-matian.

Sementara itu, di depan Ka’bah, Abu Jahal berkoar di depan teman temannya,
“Aku bersumpah untuk menghantam kepala Muhammad dengan sebuah batu ketika dia sedang sujud kepada Tuhannya!”

Beberapa orang bersorak memberi semangat, sedangkan yang lain saling pandang dengan terkejut. Itu adalah sebuah tindakan kejam yang dapat menimbulkan kematian. Jika Muhammad meninggal, Bani Hasyim pasti akan menuntut balas dan Mekah akan terpecah oleh perang saudara. Namun, Abu Jahal telah mengucapkan sumpah yang tidak dapat ditarik lagi tanpa mencoreng mukanya sendiri. Oleh karena itu, mereka memilih untuk mengamati apa yang terjadi dengan dada berdebar-debar.

Kesempatan yang ditunggu Abu Jahal pun tiba. Saat itu, Rasulullah sedang shalat di depan Ka’bah. Ketika beliau sujud, Abu Jahal dengan cepat melangkah mendekat. Kedua tanganya yang menggenggam batu terangkat tinggi-tinggi, matanya menyala buas.

Namun, ketika batu akan dihujamkan sekuat tenaga, mendadak Abu Jahal berbalik pergi. Batu di tangannya lepas dan wajahnya pucat ketakutan.

“Ada apa?” semua teman- temannya bertanya kebingungan.

Dengan napas tersendat sendat, Abu Jahal berkata,
“Demi Tuhan, di depanku tadi berdiri seekor kuda jantan. Belum pernah aku menyaksikan seekor kuda jantan serupa itu. Kepala, tengkuk, dan giginya sungguh mengerikan. Aku yakin dia akan menelanku seandainya batu tadi kuhantamkan!”

Abu Jahal pergi cepat cepat untuk menenangkan diri.

Orang-orang memandang Rasulullah dengan heran dan takjub. Sementara itu, Rasulullah tetap melanjutkan shalat dengan khusyuk. Wajah beliau begitu teduh dan tenteram.

(Bersambung)

Kisah Rasulullah #34

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ مُحَمد

Syahidah Pertama

Sabar, demikian sabda Rasulullah ﷺ, setiap kali para pengikutnya mengadukan penderitaan mereka. Saat itu memang tidak ada lagi yang dapat diperbuat selain sabar sampai mati. Sabar yang demikian membuat para pemeluk Muslim pertama sanggup menanggung derita siksa di luar batas kemampuan fisik manusia.

Khabbab bin Al Arat pernah meminta agar Rasulullah ﷺ berdo’a kepada Allah dalam menghadapi penindasan ini. Mendengar ini, Rasulullah duduk dengan wajah merah padam seraya bersabda,

“Sungguh telah terjadi sebelum kamu, ada orang yang disisir badannya dengan sisir besi hingga dagingnya mengelupas dan terlihat tulang tulangnya. Akan tetapi, ia tetap teguh memegang keyakinannya. Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى akan menyempurnakan urusan ini sampai seorang penunggang kuda berjalan dari Shan’a ke Hadramaut dan ia tidak takut kecuali kepada Allah. Ingatlah, serigala akan tetap ada di tengah tengah gembalaan, hanya saja kalian lengah.”

Sumayyah adalah ibu Ammar bin Yasir. Beserta suami dan anaknya, Sumayyah disiksa karena mengikuti ajaran Rasulullah. Ia diseret di jalan-jalan Kota Mekah, lalu dilempar ke padang pasir.

“Pukuli dia! Pukuli dia sekuat-kuatnya!” Perintah Abu Jahal.

Sumayyah pun dipukuli sampai pingsan. Kejadian ini dilakukan berulang ulang selama berhari hari. Namun, semakin sakit tubuhnya, iman Sumayyah malah semakin tinggi.

“Engkau mengikuti Muhammad karena tertarik pada ketampanannya!” ejek Abu Jahal.

“Tidak,” geleng Sumayyah,
“Aku mengikuti Rasulullah karena percaya pada apa yang beliau sampaikan. Aku mengikuti Rasulullah karena beliau mengajarkan ada Tuhan yang lebih patut disembah daripada berhala-berhala kalian!”

Akhirnya, kesabaran Abu Jahal pun habis. Dia mengambil tombak dan menusuk Sumayyah.

Sumayyah tercatat dalam sejarah sebagai perempuan muslim pertama yang syahid (syahidah) karena membela Islam.

Surga Untuk Keluarga Yasir

Ketika Rasulullah ﷺ menyaksikan Yasir, Sumayyah dan putra Yasir yang bernama Ammar disiksa habis habisan, beliau bersabda, “Sabar wahai keluarga Yasir, tempat yang telah dijanjikan bagi kalian adalah surga.”

PENEBUSAN

Melihat saudara-saudara baru mereka disiksa demikian kejam, Abu Bakar, Utsman bin Affan, dan semua orang kaya yang beriman segera bertindak. Abu Bakar mendatangi Umayyah bin Khalaf yang sedang menyiksa Bilal.

“Bebaskan dia,” pinta Abu Bakar.

“Tidak!” Cibir Umayyah.
“Engkau dan temanmu telah meracuni pikirannya! Justru aku yang minta kamu menghentikan pengaruh jahatmu terhadap budakku ini!”

Abu Bakar merasa bahwa hati Umayyah tidak mungkin dibujuk lagi, maka dia segera mengajukan penawaran.

“Kubeli Bilal darimu! Lihat, ini lima uqiyah emas! Ambil uang itu, dan berikan Bilal kepadaku!”

Dengan seringai penuh kemenangan, Umayyah menyambar uang-uang emas itu.

“Wahai Abu Bakar! Andaikata engkau menawar satu uqiyah saja, sudah tentu aku menjualnya! Dia sudah tidak berharga lagi bagiku!”

Wajah Abu Bakar memerah, bukan karena marah, melainkan karena dipenuhi rasa bahagia bisa menolong saudaranya yang tertindas.

“Jangan hanya lima uqiyah” ujar Abu Bakar sepenuh hatinya, “Andaikan engkau menjual seratus uqiyah pun, aku akan tetap membelinya!”

Kini giliran wajah Umayyah yang memerah. Terbayang keuntungan yang akan didapatnya seandainya ia menawar lebih tinggi lagi.

Abu Bakar yang baik hati kemudian membebaskan Bilal. Tidak berhenti sampai di situ, beliau pun terus menggunakan hartanya untuk membebaskan lima kaum muslimin lain yang tengah disiksa. Budak terakhir yang dibebaskan adalah budak milik Umar bin Khattab.

Orang-orang Quraisy mengejek Abu Bakar, “Alangkah sia-sianya Abu Bakar itu! Dia membuang buang uang untuk membebaskan orang!”

Namun, semangat Abu Bakar justru membakar kaum muslimin lain untuk turut berusaha keras membebaskan saudara saudara mereka.

(Bersambung)

Kisah Rasulullah #31

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ مُحَمد

Minta Mukjizat

Bersungguh-sungguh atau hanya sekedar mengejek, orang-orang Quraisy sering meminta mukjizat kepada Rasulullah.

“Kalau Tuhanmu bisa menurunkan mukjizat, kami pasti akan beriman kepadamu!” demikian seru salah seorang dari mereka kepada Rasulullah.

“Muhammad! Kalau engkau benar benar Rasulullah, mintalah Tuhan agar menyulap Bukit Shafa dan Marwa menjadi bukit-bukit emas!” seru yang lain.

“Ya, itu benar! Tetapi kalau Tuhanmu tidak sanggup membuat bukit emas, cobalah turunkan ayat-ayat Allah itu dalam sebuah kitab yang diturunkan langsung dari langit! Itu pun sudah akan membuat kami beriman!”

Rasulullah tidak menanggapi permintaan permintaan aneh itu. Melihat Rasulullah yang tetap diam dan tenang, orang-orang Quraisy jadi semakin kesal. Dari waktu ke waktu, sering di muka umum dan disaksikan orang banyak, mereka mengajukan permintaan permintaan lain yang lebih mustahil.

“Muhammad, kami dengar engkau sering membicarakan Jibril. Mengapa engkau tidak menampakkan Jibril di hadapan kami agar kami yakin?”

“Muhammad, kalau Tuhammu memang sehebat yang engkau katakan, mintalah Ia menghidupkan orangtua orangtua kami yang sudah mati!”

“Muhammad, katamu engkau membawa agama kasih sayang buat seluruh alam! Kalau begitu, mintalah Tuhanmu agar memunculkan mata air yang lebih sedap dari sumur Zamzam! Bukankah engkau tahu bahwa penduduk Mekah sangat memerlukan air?”

“Ya, setidaknya mintalah Tuhanmu melenyapkan bukit-bukit yang mengurung Mekah agar kota ini dapat mudah dicapai orang dari arah mana pun!”

Jawaban untuk Kaum Quraisy

Allah sendirilah yang menjawab permintaan permintaan itu melalui firman-Nya:

قُلْ لَا أَمْلِكُ لِنَفْسِي نَفْعًا وَلَا ضَرًّا إِلَّا مَا شَاءَ اللَّهُ ۚ وَلَوْ كُنْتُ أَعْلَمُ الْغَيْبَ لَاسْتَكْثَرْتُ مِنَ الْخَيْرِ وَمَا مَسَّنِيَ السُّوءُ ۚ إِنْ أَنَا إِلَّا نَذِيرٌ وَبَشِيرٌ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ

Katakanlah: Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman.
Surah Al-A’raf (7:188)

Melalui ayat ini, Allah menyuruh Rasulullah mengatakan, _”Wahai orang Quraisy, aku hanyalah seorang pemberi peringatan. Bukankah aku tidak meminta kepadamu hal-hal di luar kemampuan akal? Mengapa kamu justru memintaku menunjukkan hal-hal yang tidak masuk akal?

“Wahai orang Quraisy, bukankah Al Qur’an itu sendiri merupakan sebuah mukjizat? Kemudian, mengapa kamu masih meminta mukjizat yang lain? Apakah jika mukjizat itu benar-benar diturunkan, kamu akan beriman kepadaku? Bukankah jika mukjizat itu turun, kamu akan mengatakan bahwa aku hanyalah seorang penyihir yang mengada-ada?

“Wahai orang Quraisy, kalau kamu tidak mau menyembah Allah dan tetap menyembah berhala, mengapa tidak kamu minta saja mukjizat mukjizat tadi kepada para berhala itu? Bukankah kamu tahu bahwa berhala berhala itu tidak dapat mendatangkan kebajikan? Bukankah mereka tidak bergerak, tidak hidup, dan hanya terbuat dari batu dan kayu? Bukankah mereka tidak dapat membela diri jika ada orang yang datang dan menghancurkannya?

Demikianlah, Rasulullah menjawab dengan kata kata yang tidak dapat lagi dibantah kebenarannya. Namun, apakah orang orang kafir itu seketika mau menerima Islam? Tidak, mereka bahkan melakukan hal-hal lain untuk menyingkirkan Rasulullah.

Ammarah bin Walid

Sekali pun tidak memeluk Islam, Abu Thalib adalah pelindung Rasulullah. Jika ada orang yang membahayakan Rasulullah, Abu Thalib dan kabilahnya siap membelanya sampai titik darah penghabisan. Tidak ada musuh Rasulullah yang berani membunuh beliau tanpa menghadapi Abu Thalib dan kabilahnya. Karena mengetahui kokohnya perlindungan Abu Thalib ini, para pemuka Quraisy mendatangi orangtua itu di rumahnya.

“Abu Thalib,” demikian mereka mengajak bicara,

“keponakanmu itu sudah memaki berhala-berhala kita, mencaci agama kita, dan menganggap sesat nenek moyang kita. Engkau harus menghentikan dia sekarang. Jika tidak, biarlah kami yang akan menghadapinya. Kalau kamu melindunginya juga, biar kabilah-kabilah kami yang akan menghadapi kabilahmu.”

Abu Thalib menghela napas berat,
“Demi Tuhan Ka’bah, biar seluruh Mekah menghalangi jalanku, aku akan tetap melindungi kemenakanku itu.”

Para pemimpin Quraisy itu saling berpandangan, lalu pergi tanpa berkata apa-apa. Bagaimanapun, mereka belum sanggup menghadapi perang saudara yang akan menghancurkan kota Mekah. Mereka memutar akal dan menemukan muslihat lain.

Para pemimpin Quraisy itu kembali mendatangi Abu Thalib sambil membawa serta Ammarah bin Walid. Ia adalah pemuda Quraisy yang gagah perkasa dan paling tampan wajahnya.

“Ambillah dia! Jadikan dia sebagai anak. Ia jadi milikmu. Namun, serahkanlah keponakanmu yang menyalahi agama kita dan agama nenek moyang kita, yang memecah belah persatuan kita itu untuk kami bunuh!”

“Bagaimana, Abu Thalib? Bukankah ini pertukaran yang adil? Seorang laki-laki ditukar pula dengan seorang laki-laki!”

Wajah Abu Thalib berubah murka. Dengan mata menyala, ditatapi nya para bangsawan itu satu demi satu.

“Betapa buruknya tawaran kalian kepadaku ini!” geram Abu Thalib.

“Bayangkan, kalian memberikan anakmu kepadaku untuk aku beri makan, sedangkan aku harus menyerahkan anakku untuk kalian bunuh! Demi Tuhan Ka’bah, ini adalah hal yang tidak boleh terjadi buat selamanya!”

Abu Thalib adalah pemimpin kabilah Bani Hasyim. Kini Bani Hasyim terpecah dua. Kaum miskinnya membela Abu Thalib, sedang kaum kayanya membela Abu Lahab.

(Bersambung)