Yayasan Bunga Bangsa Bondowoso

menyantuni anak yatim dan tahfidz

Tag Archive : Darul Arqam

Kisah Rasulullah #40

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ مُحَمد

Surat Thohaa

Akan tetapi, Umar tidak bisa melawan rasa sayang kepada adiknya. Amarahnya padam seperti api terguyur hujan. Ia duduk, diam dalam penyesalan. Ditatapnya wajah adiknya dalam-dalam, disesalinya luka akibat tamparannya tadi.

“Perlihatkan lembaran lembaran tadi yang kalian baca agar aku tahu apa yang Muhammad bawa,” pinta Umar.

“Kami khawatir engkau merampas lembaran lembaran itu.”

“Tidak perlu takut, perlihatkanlah. Aku bersumpah akan mengembalikannya.”

Saat itu, timbul harapan di hati Fatimah agar kakaknya memeluk Islam.

“Kakak engkau adalah penyembah berhala, karena itu engkau kotor. Sesungguhnya, lembaran ini tidak boleh disentuh kecuali orang yang suci.”

Tanpa berkata lagi, Umar berdiri lalu mandi. Setelah itu ia kembali dan membaca lembaran lembaran yang berisi surat Thohaa.

طه

Thaahaa.

مَا أَنْزَلْنَا عَلَيْكَ الْقُرْآنَ لِتَشْقَىٰ

Kami tidak menurunkan Al Quran ini kepadamu agar kamu menjadi susah;

إِلَّا تَذْكِرَةً لِمَنْ يَخْشَىٰ

tetapi sebagai peringatan bagi orang yang takut (kepada Allah),

تَنْزِيلًا مِمَّنْ خَلَقَ الْأَرْضَ وَالسَّمَاوَاتِ الْعُلَى

yaitu diturunkan dari Allah yang menciptakan bumi dan langit yang tinggi.

الرَّحْمَٰنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَىٰ

(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah. Yang bersemayam di atas ´Arsy.

لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا وَمَا تَحْتَ الثَّرَىٰ

Kepunyaan-Nya-lah semua yang ada di langit, semua yang di bumi, semua yang di antara keduanya dan semua yang di bawah tanah.

وَإِنْ تَجْهَرْ بِالْقَوْلِ فَإِنَّهُ يَعْلَمُ السِّرَّ وَأَخْفَى

Dan jika kamu mengeraskan ucapanmu, maka sesungguhnya Dia mengetahui rahasia dan yang lebih tersembunyi.

اللَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ۖ لَهُ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَىٰ

Dialah Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. Dia mempunyai al asmaaul husna (nama-nama yang baik),

…………

Umar terus membaca sebagian besar lembaran lembaran tadi, lalu berhenti. Tangannya terkulai. Matanya sayu.
Dikembalikannya lembaran lembaran tadi ke tangan Fatimah. Dengan rasa heran dan penuh harap, Fatimah memerhatikan wajah kakaknya.

Kemudian di dengarnya Umar mendesah. “Alangkah bagus dan agung kata-kata ini.”

Seolah mendadak matahari yang terang benderang muncul dari balik awan. Khattab bin Al Arat segera keluar dari persembunyiannya.

“Wahai Umar!” serunya meluap-luap, “aku sungguh berharap mudah-mudahan Allah mengistimewakan dirimu. Kemarin kudengar Rasulullah berdoa, “Ya Allah! kuatkanlah Islam dari dua Umar, Abu Jahal bin ‘Amr bin Hisyam atau Umar bin Khattab!”

Mendengar itu, Umar segera bangkit dan bergegas menuju Darul Arqam. Namun, tangannya masih menghunus pedang dan wajahnya seperti singa padang pasir yang siap bertarung.

Keislaman Umar bin Khattab

Berdentum-dentum pintu Darul Arqam diketuk Umar. Sebelum membuka pintu, seorang sahabat mengintip keluar dan terkejut, seperti baru mengalami mimpi buruk.
“Pengetuk pintu adalah Umar bin Khattab!” desisnya panik kepada Rasulullah dan orang-orang di dalam, “Dia datang dengan pedang terhunus!”

Hamzah bin Abdul Muthalib berdiri dan berkata tenang. “Biarkan saja dia masuk. Jika dia datang dengan maksud baik, kita sambut dengan baik. Namun, jika dia datang dengan maksud jahat, kita bunuh saja dia dengan pedangnya”

Setelah berkata begitu, tangan Hamzah bergerak meraba gagang pedangnya. Suasana tambah mencekam ketika pintu dibuka. Namun, Umar tidak juga masuk, ia tetap berdiri dengan sikap garang di depan pintu.

Melihat itu, Rasulullah pun berdiri dan berjalan cepat menghampiri Umar. Dengan kecepatan yang bahkan tidak terduga oleh Umar sendiri, tangan Rasulullah yang mulia bergerak dan mencengkeram leher baju Umar dengan kuat.

Dengan suara tegas yang tidak bisa dibantah, Rasulullah berkata,

“Wahai Umar! Dengan maksud apa engkau datang? Demi Allah, aku tidak akan melihat engkau berhenti dengan sikap dan tindakanmu terhadap kami hingga Allah menurunkan bencana untukmu”

Kerongkongan Umar tersekat karena begitu terkejut. Kesombongannya runtuh, bahkan rasa takut menguasai dirinya. Dengan suara lirih ia berkata “Wahai Rasulullah……. “

Semua orang di Darul Arqam tercengang. Mereka lebih tercengang lagi mendengar Umar bin Khattab, sang Singa Quraisy, melanjutkan kata-katanya,

“Aku datang kepadamu untuk beriman kepada Allah dan Utusan-Nya”

Rasulullah melepaskan cengkeramannya dan berkata penuh rasa syukur, “Subhanallah …..”

Takbir Hamzah membahana. Pada bulan Dzulhijjah tahun keenam kenabian itu, Umar bin Khattab, Sahabat berperang dan teman minumnya, menjadi saudara seiman. Hati mereka terikat dalam tali yang tidak bisa putus lagi sampai ke akhirat. Dengan kegembiraan yang tiada tara, Rasulullah mengusap dada Umar agar sahabat barunya itu tetap dalam keimanan.

(Bersambung)

Kisah Rasulullah #39

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ مُحَمد

Berita untuk Umar

Umar melanjutkan langkahnya menuju Darul Arqam.
“Sudah jelas, Muhammad-lah yang menyebabkan semua kesengsaraan ini! Aku harus membunuhnya agar Mekah kembali damai dan tenang. Mengenai Hamzah, aku akan bertarung dengannya. Aku yang mati atau Hamzah yang mati, itu tidak terlalu membuatku risau.”

Tiba-tiba, lamunannya buyar ketika Nu’aim bin Abdullah menegurnya, “Hendak kemana, wahai putra Khattab?”

“Aku akan menemui Muhammad! Dia yang menukar agama nenek moyang kita. Dia yang memecah belah masyarakat Quraisy. Dia memiliki banyak angan-angan bodoh. Dia yang mencaci tuhan-tuhan kita. Untuk semua kesalahannya itu, aku akan menebas lehernya!”

“Demi Allah, engkau telah tertipu oleh dirimu sendiri, wahai Umar! Apakah tindakanmu membunuh Muhammad akan dibiarkan saja oleh Bani Abdi Manaf? Tidakkah lebih baik engkau pulang dan mengurusi keluarga mu sendiri?”

Umar berhenti melangkah dan bertanya tajam, “Keluarga ku yang mana?”
“Saudara sepupumu sendiri, Sa’id bin Zaid bin Ammar dan istrinya yang tak lain adalah adik perempuanmu, Fathimah binti Khattab. Mereka telah mengikuti ajaran Muhammad, urusi saja mereka dulu!”

Umar segera membalikkan badan dan melangkah cepat menuju ke rumah adiknya.

“Kalau itu benar, aku akan bertindak pada Sa’id bin Zaid seperti yang pernah dilakukan oleh ayahku yang garang. Al Khattab, kepada ayah Sa’id, Zaid bin Ammar! Berani-beraninya dia memeluk Islam, sedangkan dia tahu aku membenci agama itu!”

Dengan keras, Umar bin Khattab menggedor pintu rumah Sa’id bin Zaid dan Fatimah. Suaranya berdentum-dentum keras mengejutkan siapa saja yang ada di dalam rumah. Sudah bisa diduga, kali ini akan jatuh lagi korban dalam penganiayaan yang menimpa kaum Muslimin.

Amuk Umar bin Khattab

Di dalam rumah, Sa’id dan Fathimah binti Khattab sedang mengikuti ayat Al Qur’an yang dibacakan oleh Khabbab bin Al Arat. Begitu pintu berguncang diketuk Umar, Sa’id dan Fathimah segera menyembunyikan Khabbab. Fathimah segera menyembunyikan lembaran-lembaran yang tadi mereka baca di bawah pahanya.

Sa’id membuka pintu dan Umar bergegas masuk.
“Suara apa yang baru kudengar itu?” bentak Umar.

” Tidak…. kami tidak mendengar suara apa pun tadi “

Seketika amarah Umar bin Khattab meledak, “Kudengar kalian telah mengikuti ajaran Muhammad!”

Belum sepatah kata pun keluar dari mulut kedua suami istri itu, pedang Umar sudah terayun dan gagangnya mengenai Sa’id hingga ia jatuh terjerembab di lantai dan luka. Melihat suaminya berdarah, Fathimah bangkit berusaha melerai, tetapi tangan Umar cepat sekali menampar wajahnya.

Fathimah jatuh di samping suaminya dengan darah mengucur dari wajahnya.
Meski garang, Umar terkenal lembut dan penyayang kepada keluarganya sendiri. Melihat darah Fathimah, Umar tertegun.

“Fathimah berdarah,” pikirnya, “Mengapa aku bisa sampai begitu? Aku menyayangi adikku itu sepenuh hati, bahkan lebih mirip rasa sayang antara ayah kepada putrinya!”

Fathimah yang lembut dan biasanya selalu patuh kepada Umar, kali ini mengangkat wajah, menentang langsung paras kakaknya itu.

“Baiklah,” seru Fathimah
“lakukanlah apa saja yang engkau kehendaki!”

Fathimah sudah siap menghadapi berbagai kemungkinan yang akan terjadi. Ia siap disiksa oleh kakaknya sendiri yang dari kecil begitu menyayanginya, ia bahkan siap untuk mati. Kedua tangannya terentang, seolah siap menerima tikaman pedang Umar ke dadanya.

Al Qur’an bukan Mantra Syair

Suatu malam, Umar bin Khattab diam-diam mendengar Rasulullah ﷺ membaca Al Qur’an pada malam hari, Umar terpesona. Namun, ia berkata dalam hati, “Ah, ini pasti ucapan seorang penyair”. Bisik hati Umar.

Saat itu Rasulullah ﷺ membaca surah Al Haqqah ayat 41,

وَمَا هُوَ بِقَوْلِ شَاعِرٍ ۚ قَلِيلًا مَا تُؤْمِنُونَ

“Dan Al Quran itu bukanlah perkataan seorang penyair. Sedikit sekali kamu beriman kepadanya.”

Kembali, Umar bin Khattab diam-diam datang ke rumah Rasulullah pada tengah malam dan mendengar Rasulullah membaca Al Qur’an. Umar berkata dalam hati, “Kalau ini bukan ucapan tukang tenung, ini pasti ucapan Muhammad, bukan Firman Tuhan.”
Namun, sesegera itu juga, Rasulullah membaca Surah Al Haqqah ayat 43:

تَنْزِيلٌ مِنْ رَبِّ الْعَالَمِينَ

“Ia (Al Qur’an) adalah wahyu yang diturunkan dari Tuhan seluruh alam.”

(Bersambung)

Kisah Rasulullah #35

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ مُحَمد

Darul Arqam

Waktu terus berjalan. Kegigihan dakwah Rasulullah ﷺ mulai berbuah, sedikit demi sedikit, para pemeluk Islam mulai bertambah. Rumah Rasulullah yang kecil itu mulai terasa sempit.

“Ya Rasulullah, alangkah baiknya jika kita memindahkan tempat pertemuan ke rumahku,” usul Arqam. “Rumahku cukup luas untuk menampung jumlah kita yang sudah puluhan orang. Lagi pula, letaknya ada di puncak bukit. Orang-orang jahat tidak mudah mencapai tempat itu untuk mengganggu kita.”

Rasulullah pun setuju. Oleh karena itu, pertemuan setiap malam pun pindah ke rumah Arqam. Sebagian pemeluk Islam waktu itu adalah orang-orang lemah: para budak, buruh, orang miskin, perempuan perempuan fakir, serta orang tertindas lain. Sisanya adalah golongan orang terpelajar dan pedagang kaya.

Sebenarnya, kebanyakan pedagang mulanya agak ragu.

“Bagaimana jika nanti ajaran baru ini menutup Mekah dari rombongan saudagar dari tempat-tempat lain? Kalau demikian yang terjadi, kita akan bangkrut.” Ujar seorang pedagang.

Namun, keraguan itu ditepis Rasulullah. Islam tidak akan menutup Mekah. Islam juga tidak akan mengubah musim ziarah ketika justru banyak pedagang mancanegara berdatangan ke Mekah. Islam tidak melarang semua itu.

Hal yang dilarang adalah:

  1. Menyembah berhala
  2. Menyerahkan persembahan dan korban kepada bangsawan Quraisy
  3. Bertelanjang ketika thawaf di Ka’bah
  4. Menyelenggarakan pelacuran
  5. Mengeluarkan kata kata kotor dan tindakan buruk lain saat melaksanakan ziarah

Rencana Para Pemuka Quraisy

Setelah mendengar penjelasan Rasulullah, para pedagang pun merasa lega. Kebanyakan mereka bukan pedagang budak dan tidak menarik untung dari korban yang dipersembahkan untuk bangsawan-bangsawan Quraisy. Iman mereka pun semakin kuat.

Melihat Islam semakin dicintai para pengikutnya, para pembesar Quraisy pun menyusun rencana lain…

“Apa yang harus kita lakukan?” teriak seorang pemuka Quraisy.
“Abu Bakar dan teman-temannya terus membebaskan budak budak kita! Tidak ada jalan lain, bunuh budak budak itu agar yang lain ketakutan!”

“Tidak,” geleng Abu Jahal lemah. “Sumayyah telah kubunuh, tapi itu tidak membuat yang lain takut. Cari saja cara yang lain!”

Seorang pemuka Quraisy berdiri cepat,
“Pukuli Muhammad sampai remuk! Dengan demikian, wibawanya akan hancur dan pengikutnya pun bubar ketakutan!”

“Namun, keluarga Muhammad dari Bani Hasyim akan membelanya!” lengking yang lain.

“Siapa? Abu Thalib sudah terlalu tua! Yang harus kita takuti dari Bani Hasyim adalah Hamzah! Namun, engkau lihat sendiri, Hamzah sibuk berfoya-foya sendiri! Ia tidak peduli pada nasib keponakannya itu! Pilihlah dua orang yang paling ditakuti di Mekah untuk melaksanakan tugas ini!”

Sejenak, orang-orang terdiam sambil memandang berkeliling. Kemudian, seorang dari mereka menunjukkan jarinya kepada pemuda bertubuh tinggi besar,
“Engkau, Umar bin Khattab! Engkau dan Abu Jahal! Tidak ada orang lain yang berani melawan kalau kalian memukuli Muhammad!”

Orang-orang berseru “setuju.”

“Sabar,” tiba-tiba seseorang berseru,
“langkah awal bukanlah serangan fisik! Hancurkan dulu wibawanya! Ku usulkan agar kita suruh para budak melempari Muhammad dan meneriakinya sebagai pembohong, orang gila, dan tukang sihir!”

Usul itu disetujui. Mulai hari itu, setiap Rasulullah melewati jalan-jalan di Mekah, para budak, para wanita yang nasibnya justru sedang diperjuangkan Rasulullah, meneriaki beliau,
“Pembohong besar! Orang gila! Tukang sihir!”

Suara mereka keras dan tajam layaknya orang sedang mengusir kucing yang masuk dapur. Kemudian, apa yang terjadi jika Abu Jahal atau Umar mulai memukuli Rasulullah

Kuda Jantan

Saat itu merupakan masa yang berat bagi Rasulullah. Beliau pergi ke sebuah tempat yang teduh, berbaring di atas batu, dan berusaha menahan air matanya agar tidak jatuh. Tidak ada yang lebih menyakitkan dibanding cacian dan celaan dari orang-orang yang justru sedang diperjuangkan Rasulullah mati-matian.

Sementara itu, di depan Ka’bah, Abu Jahal berkoar di depan teman temannya,
“Aku bersumpah untuk menghantam kepala Muhammad dengan sebuah batu ketika dia sedang sujud kepada Tuhannya!”

Beberapa orang bersorak memberi semangat, sedangkan yang lain saling pandang dengan terkejut. Itu adalah sebuah tindakan kejam yang dapat menimbulkan kematian. Jika Muhammad meninggal, Bani Hasyim pasti akan menuntut balas dan Mekah akan terpecah oleh perang saudara. Namun, Abu Jahal telah mengucapkan sumpah yang tidak dapat ditarik lagi tanpa mencoreng mukanya sendiri. Oleh karena itu, mereka memilih untuk mengamati apa yang terjadi dengan dada berdebar-debar.

Kesempatan yang ditunggu Abu Jahal pun tiba. Saat itu, Rasulullah sedang shalat di depan Ka’bah. Ketika beliau sujud, Abu Jahal dengan cepat melangkah mendekat. Kedua tanganya yang menggenggam batu terangkat tinggi-tinggi, matanya menyala buas.

Namun, ketika batu akan dihujamkan sekuat tenaga, mendadak Abu Jahal berbalik pergi. Batu di tangannya lepas dan wajahnya pucat ketakutan.

“Ada apa?” semua teman- temannya bertanya kebingungan.

Dengan napas tersendat sendat, Abu Jahal berkata,
“Demi Tuhan, di depanku tadi berdiri seekor kuda jantan. Belum pernah aku menyaksikan seekor kuda jantan serupa itu. Kepala, tengkuk, dan giginya sungguh mengerikan. Aku yakin dia akan menelanku seandainya batu tadi kuhantamkan!”

Abu Jahal pergi cepat cepat untuk menenangkan diri.

Orang-orang memandang Rasulullah dengan heran dan takjub. Sementara itu, Rasulullah tetap melanjutkan shalat dengan khusyuk. Wajah beliau begitu teduh dan tenteram.

(Bersambung)