Yayasan Bunga Bangsa Bondowoso

menyantuni anak yatim dan tahfidz

Tag Archive : abu thalib

Kisah Rasulullah #50

اللَّهُمَّ صَلِّ علَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ

Kenangan akan Khadijah

Kenangan akan Khadijah tetap hidup di hati Rasulullah sampai beliau wafat. Rasulullah ingat pernikahan mereka yang penuh berkah. Itulah satu-satunya pernikahan di dunia ini yang dipenuhi berkah surga dan dunia sekaligus.

Saat pernikahan itu, Khadijah mengadakan jamuan buat semua orang, mulai dari yang paling kaya sampai yang paling miskin. Bangsa Arab yang saat itu hanya mengenal air putih, dalam walimah pernikahan Rasulullah dan Khadijah, disuguhi minuman segar sari buah dan sirup mawar.

Selama beberapa hari, semua orang, baik tua maupun muda, makan di rumah Khadijah. Kepada orang-orang miskin, Khadijah memberikan beberapa keping uang emas dan perak serta pakaian. Kepada para janda, Khadijah menyumbangkan kebutuhan hidup yang belum pernah mereka rasakan sebelumnya.

Rasulullah juga terkenang saat setelah menikah, Khadijah tidak lagi tertarik pada perdagangan serta kesuksesan yang diraihnya. Pernikahan telah mengganti perhatian Khadijah. Beliau telah mendapatkan Muhammad al-Musthafa sebagai hartanya yang paling berharga di dunia ini. Begitu Khadijah menjadi istri Rasulullah, semua perak, emas, dan berlian kehilangan harga di matanya. Rasullullah menjadi satu-satunya yang Khadijah sayangi, perhatikan, dan cintai. Beliau mengabdikan diri sepenuhnya pada kehidupan Rasulullah.

Saat-saat didampingi Khadijah, boleh dikatakan merupakan sat-saat yang sangat membahagiakan Rasulullah. Dari rahim Khadijah lahir dua orang putra dan empat orang putri Rasulullah, termasuk puteri terkecil mereka Fatimah az- Zahra, yang menjadi cahaya mata ayahnya.

Tidak ada laki-laki lain yang cocok mendampingi Khadijah selain Rasulullah. Begitu serasinya mereka sampai ada ahli sejarah yang menduga bahwa seandainya Khadijah tidak bertemu Rasulullah dalam hidupnya, kemungkinan besar Khadijah tidak akan menikah sampai akhir hidupnya, karena bukanlah kekayaan, ketampanan, dan keturunan yang menarik hati Khadijah, melainkan keluhuran budi yang mampu meluluhkan hatinya. Itulah yang ada dalam diri Rasulullah.

Rumah di Surga

Dalam Shahih al-Bukhari, Abu Hurairah berkata, Jibril mendatangi rumah Rasulullah seraya berkata, “Wahai Rasulullah, inilah yang datang, Khadijah, sambil membawa bejana yang di dalamnya ada lauk atau makanan atau minuman. Jika ia datang, sampaikan salam padanya dari Rabb-nya dan sampaikan kabar kepadanya tentang sebuah rumah di Surga yang di dalamnya tidak ada hiruk-pikuk dan keletihan.”

Khadijah Wanita Sempurna

Sebelum kedatangan Islam, Khadijah dijuluki Ratu Mekah. Namun, ketika cahaya Islam terbit, Allah memberi beliau kedudukan sebagai ibu kaum beriman (ummulmukminin).

Saat itu, sebagian kaum Muslimin adalah orang-orang miskin. Mereka tidak bisa mencari nafkah, karena orang-orang kafir lah yang menguasai perdagangan. Orang-orang itu tidak memberikan kesempatan bagi kaum Muslimin untuk bekerja. Pada saat itu, kaum Muslimin bisa terhindar dari kelaparan berkat bantuan Khadijah.

Khadijah juga memberi mereka tempat tinggal. Khadijah menggunakan begitu banyak uangnya untuk orang-orang Muslim di Mekah yang miskin akibat boikot orang-orang musyrik. Pertolongan Khadijah telah mematahkan tujuan orang-orang musyrik untuk menarik para pengikut Rasulullah yang miskin pada kekafiran lagi.

Khadijah tidak pernah menyisakan sampai uang terakhir yang dimilikinya demi kesejahteraan para pemeluk Islam. Cinta Khadijah kepada mereka tidak berbeda dengan cinta ibu kepada anaknya. Kalian tahu, seorang ibu rela mengorbankan nyawanya sendiri demi keselamatan anak-anaknya. Seorang ibu bisa merasakan lapar, namun jika anak-anaknya kelaparan, ia akan mengutamakan anak-anaknya lebih dulu. Ia akan memberikan jatah makannya untuk anak-anaknya dan rela menahan lapar. Bahkan jika anak-anaknya merasa kenyang dan senang, itu sudah cukup membuat seorang ibu juga merasa senang dan kenyang sehingga ia lupa rasa lapar yang dideritanya sendiri. Cinta seorang ibu tidak mengenal syarat. Cinta seorang ibu penuh perlindungan dan penuh kasih.

Dengan keluhuran budi istrinya yang begitu agung, sangat wajar jika Rasulullah merasa amat berduka ketika Khadijah wafat.

Rasulullah Amat Mencintai Khadijah

Begitu besarnya cinta Rasulullah kepada Khadijah sampai beliau bersabda, “Demi Allah! Allah tidak menggantikan Khadijah dengan seorang yang lebih baik. Ia telah beriman kepadaku pada saat orang-orang mengingkari risalahku. Ia percaya kepadaku pada saat orang-orang mendustaiku. Ia telah mengorbankan hartanya padahal orang lain tidak mau melakukannya, dan Allah telah melimpahkan karunia bagiku anak-anak melalui Khadijah.”

Setelah Abu Thalib Tiada

Ketika ibunya wafat, Fatimah az-Zahra baru berusia tiga tahun. Anak perempuan yang matanya masih basah karena baru kehilangan ibunya itu kini melihat ayahnya dihina orang sejadi-jadinya. Para tetangga mereka seperti Hakam bin Ash, Uqbah bin Abu Mu’ith, Adi bin Hamra, dan Abu Lahab sangat sering melempar batu ketika ayahnya sedang shalat. Bahkan tidak cuma batu, tetapi juga jeroan kambing. Jeroan kambing itu pernah mereka lemparkan ke dalam panci masakan Rasulullah yang siap disajikan.

Kejadian paling ringan yang pernah menimpa Rasulullah adalah ketika seorang Quraisy pandir mencegatnya di jalan dan secara tiba-tiba menyiramkan tanah ke atas kepala beliau. Rasulullah tidak membalas hinaan itu. Beliau pulang ke rumah dengan kepala yang penuh tanah.

Di rumah, Fatimah membersihkan kepala ayahnya sambil menangis.

Tidak ada yang lebih pilu rasanya hati seorang ayah dibanding mendengar tangis anaknya. Apalagi yang menangis ini adalah anak perempuan yang baru saja ditinggal mati ibunya. Hampir kaku rasanya Rasulullah karena begitu pilu, bahkan beliau hampir saja ikut menangis.

Muhammad adalah ayah yang bijaksana dan penuh kasih sayang pada putri-putrinya. Tak ada lagi yang beliau lakukan menghadapi tangis pilu putrinya selain memohon pertolongan kepada Allah dengan keimanan sepenuh hati.

“Jangan menangis, putriku,” begitu yang Rasulullah bisikkan kepada Fatimah sambil menghapus air matanya.
“Sesungguhnya Allah akan melindungi ayahmu.”

Rasulullah kemudian berkata,
“Sebelum wafat Abu Thalib, orang-orang Quraisy itu tidak seberapa menggangguku.”

Apa yang kemudian beliau lakukan untuk melepaskan diri dari tekanan Quraisy yang semakin menjadi-jadi?

ان شاءالله
bersambung…

Sumber : Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad ﷺ.
oleh : KH. Munawar Chalil.

Kisah Rasulullah #49

اللَّهُمَّ صَلِّ علَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ

Abu Thalib Sakit Keras

Beberapa bulan setelah piagam dihapus, Rasulullah kembali mengalami ujian besar. Kali ini bukan penyiksaan dari pihak lawan, melainkan berupa kehilangan orang yang beliau cintai.

Karena sudah lanjut usia dan menderita kehidupan berat di pengasingan selama tiga tahun, Abu Thalib jatuh sakit. Saat itu usianya sudah delapan puluh tahun. Mengetahui Abu Thalib sakit keras, orang-orang Quraisy khawatir akan terjadi perang antara kaum Quraisy dan Rasulullah beserta para pengikutnya. Apalagi di pihak Rasulullah ada Hamzah dan Umar yang terkenal garang dan keras. Selama ini, Abu Thalib selalu bisa menjadi penengah kedua belah pihak.

Para pemuka Quraisy menemui Abu Thalib di pembaringan dan berkata,
“Abu Thalib, engkau adalah keluarga kami juga. Sekarang ini, keadaan antara kami dan kemenakanmu sudah sangat mencemaskan kami. Panggilah dia. Kami dan dia akan saling memberi dan menerima. Biarlah dia dengan agamanya dan kami dengan agama kami pula”.

Rasulullah Kemudian datang. Mengetahui maksud kedatangan mereka, Rasulullah bersabda,
“Sepatah kata saja saya minta yang akan membuat mereka merajai semua orang Arab dan bukan Arab.”

“Katakanlah, demi ayahmu,” kata Abu Jahal.
“Sepuluh kata sekali pun silakan!”

Rasulullah bersabda,
“Katakan, tidak ada Tuhan selain Allah dan tinggalkan segala penyembahan selain Allah.”

“Muhammad,” seru mereka,
“maksudmu tuhan-tuhan itu dijadikan satu saja?”

Para pembesar Quraisy saling pandang dengan kecewa menghadapi keteguhan Rasulullah.

“Pulanglah,” kata mereka satu sama lain,
“orang Ini tidak akan memberikan apa-apa seperti yang kamu kehendaki. Pergilah Kalian!”

Abu Thalib Wafat

Rasulullah duduk di sisi pembaringan pamannya. Dengan sedih, ditatapnya wajah bijaksana orang tua itu. Hati Rasulullah dipenuhi rasa duka, tidak hanya karena melihat sakit sebelum maut yang diderita Abu Thalib, melainkan juga karena sampai saat itu, pamannya belum juga membuka hatinya kepada Islam.

Rasulullah menggenggam tangan pamannya dengan lembut. Inilah Abu Thalib yang dulu mengajaknya berdagang ke Syam karena tidak tega berpisah dengannya. Inilah pamannya yang dulu merawatnya penuh kasih sayang, bahkan mencintainya melebihi kecintaan kepada anak-anaknya sendiri. Inilah Abu Thalib yang membuka jalan pertemuannya dengan Khadijah dan mendorongnya menjadi pemimpin kafilah dagang Khadijah. Inilah Abu Thalib yang selalu menjadi pelindungnya sejak dirinya menjadi yatim sampai menjadi utusan Allah.

Abu Thalib membuka matanya yang sayu dan memandang Rasulullah, “Demi Allah, wahai anak saudaraku, aku tidak melihatmu menawarkan sesuatu yang berat kepada para pemuka kaummu.”

Sejenak timbul harapan Rasulullah akan keislaman pamannya itu.

“Wahai pamanku, ucapkanlah satu kalimat maka dengan kalimat tersebut engkau berhak mendapat syafaatku pada Hari Kiamat.”

Akan tetapi, Abu Thalib tetap enggan menerima ajakan tersebut. Kemudian wafatlah ia.

Kini, hilang sudah seorang pelindung Rasulullah. Mulai saat ini, Rasulullah harus menghadapi semuanya sendiri.

Kata-Kata Terakhir Abu Thalib

Ketika Rasulullah mengajak Abu Thalib mengucapkan syahadat pada saat-saat terakhirnya, Abu Thalib berkata,

“Kalau saja aku tidak khawatir nasib keluargaku akan dianiaya setelah kepergianku dan kaum Quraisy bakal mengatakan, bahwa aku berucap karena gentar menghadapi sakaratul maut, aku tentu mengucapkannya. Kalau pun kuucapkan, itu sekadar menyenangkan hatimu.”

Khadijah Wafat

Seusai penguburan Abu Thalib, Rasulullah kembali ke rumah dan menemukan Khadijah jatuh sakit. Rasulullah menggenggam tangan Khadijah yang kini terasa panas. Dari hari ke hari, wajah Khadijah semakin pucat dan gemetar, Rasulullah amat terharu. Pada saat-saat seperti ini, istrinya itu tetap berusaha menguatkan hatinya. Seolah-olah Khadijah tahu bahwa perjuangan suaminya masih sangat panjang dan berliku, sedangkan perjuangannya sendiri sudah mencapai titik akhir.

Akhirnya, saat perpisahan sepasang suami istri yang mulia itu pun tiba. Hanya beberapa hari setelah Abu Thalib meninggal, Khadijah pun wafat dengan tenang.

Dalam beberapa hari saja, Rasulullah kehilangan dua orang yang sangat berarti dalam hidupnya: paman yang mengasuh dan melindunginya serta istri yang setia mendampingi dalam menempuh semua suka dan duka, terutama setelah beliau diangkat menjadi Rasul selama sepuluh tahun terakhir kehidupan mereka. Masa-masa duka ini dikenal dengan nama ‘Amul Huzni (tahun kesedihan).

Saat itu, seolah-olah semua kegembiraan di hati Rasulullah pudar. Indahnya kehidupan seolah-olah ikut terkubur bersama jasad dua orang kesayangan itu. Rasulullah tertunduk di samping pusara Khadijah. Air mata beliau mengalir tanpa tertahan.

Beliau ingat, betapa besar penderitaan pamannya dan kesengsaraan yang dipikul istrinya saat mereka bertindak melindungi beliau. Rasanya, hidup Khadijah lebih banyak dilalui dengan menanggung begitu berat beban perjuangan dibanding menikmati manisnya kehidupan.

Keluarga dan sahabat merasakan betul kesedihan Rasulullah. Sekuat tenaga, mereka berusaha menghibur Rasulullah. Inilah saat-saat ketika para pengikut, yang biasanya dihibur dan dikuatkan hatinya oleh Rasulullah, berganti menghibur dan menguatkan hati Rasulullah. Sungguh pada saat yang mengharukan, tetap ada keindahan yang tampak dalam persaudaraan mereka.

ان شاءالله
bersambung…

Sumber : Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad ﷺ.
oleh : KH. Munawar Chalil.

Kisah Rasulullah #47

اللَّهُمَّ صَلِّ علَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ

Hisyam bin Amr

Hisyam bin Amr berjalan bolak-balik di depan rumahnya sambil menggerutu, “Tiga tahun sudah Bani Hasyim diasingkan! Padahal, mereka masih bersaudara dengan suku-suku Quraisy yang lain. Ada yang sebagai sepupu, ipar, paman, bibi.
Kalau saja tidak ada aku dan beberapa orang lain yang suka menyelundupkan makanan dengan diam-diam, Bani Hasyim tentu sudah kelaparan! Sudah saatnya aku harus berbuat sesuatu!”

Dengan tekad demikian, Hisyam bin Amr pergi menemui sahabatnya, Zuhair bin Umayyah. Zuhair adalah adalah anggota bani Makhzum, tapi bibinya adalah ‘Atiqah binti Abdul Muththalib dari Bani Hasyim.

“Zuhair,” tegur Hisyam,
“aku heran engkau masih bisa tenang menikmati makanan, pakaian, dan lainnya, padahal engkau tahu keluarga ibumu dikurung sedemikian rupa hingga tidak boleh berhubungan dengan orang lain, tidak boleh berjual beli, tidak boleh saling menikahkan! Aku bersumpah, kalau mereka itu keluargaku dari pihak ibuku, keluarga Abdul Hakam bin Hisyam, lalu diajak untuk mengasingkan mereka, tentu aku tolak mentah-mentah!”

Zuhair terperangah.
“Sebetulnya sudah lama sekali persoalan ini meresahkan hatiku,” kata Zuhair kemudian.

“Jadi apa lagi yang engkau tunggu?” tanya Hisyam.

Keduanya pun sepakat untuk bersama-sama membatalkan piagam kejam itu. Namun, itu tidak cukup. Mereka harus mendapat dukungan juga dari yang lain.

Kemudian, secara rahasia malam itu juga mereka menemui Muth’im bin Adi dari Bani Naufal, Abu al-Bakhtary bin Hisyam, dan Zam’ah bin Aswad dari Bani Asad. Kelima orang itu membulatkan tekad untuk membatalkan piagam yang telah tiga tahun dipasang di dinding Ka’bah.

Merobek Piagam

Esok harinya, Zuhair mengelingi Ka’bah tujuh kali seraya berseru, “Hai penduduk Mekah! Kamu sekalian enak-enak makan dan berpakaian, padahal Bani Hasyim binasa, tidak bisa membeli atau menjual sesuatu pun! Demi Allah, saya tidak akan duduk sebelum piagam yang kejam ini dirobek!”

Ketika itu, Abu Jahal, yang berada tidak jauh dari tempat Zuhair, dengan cepat datang menghampiri sambil berteriak,
“Engkau pendusta! Demi Allah, piagam itu tidak boleh dirobek!”

“Jika Zuhair engkau sebut pendusta, engkau jauh lebih pendusta!” balas Zam’ah bin Aswad.
“Sebenarnya, dulu pun saat piagam itu ditulis, kami tidak rela!”

“Zam’ah benar!” dukung Abu al-Bakhtary.
“Dulu kami tidak rela terhadap penulisan piagam itu dan kami pun tidak ikut menetapkannya!”

“Zam’ah dan Abu al-Bakhtary benar!” sahut Muth’im bin Adi.
“Dan siapa yang berkata selain itu dialah sang pendusta.”

“Kami menyatakan kepada Allah untuk membebaskan diri dari piagam itu dan apa yang tertulis di dalamnya!”

Mata Abu Jahal berkilat-kilat dan bahunya gemetar menahan marah.
“Kalian pasti sudah bersekongkol tadi malam!” tuduhnya.
“Kalian diam-diam berkumpul ditempat tersembunyi dan memutuskan untuk mengingkari piagam bersama ini!”

Perang mulut hampir memuncak ketika Abu Thalib yang ketika dari tadi diam di pojok, berjalan mendatangi mereka. Sikapnya yang tenang membuat orang-orang yang sedang bertengkar terdiam.

Mereka memandang Abu Thalib dan menanti yang akan dikatakan pemimpin Bani Hasyim itu.

“Semalam Muhammad menyampaikan sebuah pesan kepadaku mengenai piagam itu,” demikian kata Abu Thalib.

Rayap yang Diutus Allah

“Muhammad menyampaikan kepadaku bahwa Allah telah mengutus rayap untuk memusnahkan piagam itu”, lanjut Abu Thalib dengan tenang.

Orang-orang itu saling pandang dengan rasa heran bercampur takjub. Benarkah kabar ini?

Abu Thalib cepat berkata lagi, “Jika kemenakanku itu berbohong, kita biarkan apa yang ada di antara kalian dan dia. Biarlah kami menanggung pengasingan selamanya. Namun jika Muhammad benar, kalian harus berhenti memboikot dan berbuat semena-mena terhadap kami.”

Tampak sekali Abu Thalib sangat yakin dengan perkataannya, sehingga bersedia menanggung boikot sampai mati jika perkataan Rasulullah tidak benar.

Semua orang terdiam. Mereka terharu sekaligus mengagumi rasa saling percaya dan kesetiaan yang demikian tinggi antara Abu Thalib dan Rasulullah.

“Baiklah, engkau adil,” kata mereka. “Kami terima perkataanmu tadi, Abu Thalib.”

Berbondong-bondong, mereka pergi ke Ka’bah dan menemukan bahwa yang dikatakan Rasulullah memang benar. Rayap telah memakan isi piagam itu, kecuali sebagian kecil yang bertuliskan “Bismika allahumma (Dengan nama-Mu ya Allah).”

Demikianlah, akhirnya piagam itu dibatalkan. Rasulullah dan keluarganya kini bisa kembali berada di tengah-tengah masyarakat seperti semula.

Apakah kini Rasulullah dan para pengikutnya bisa bernafas lebih lega? Apalagi adanya kekuasaan Allah melalui rayap, mungkinkah hati orang-orang musyrik berubah? Ternyata sama sekali tidak! Justru kekufuran mereka semakin menjadi-jadi. Mereka itu seperti yang tercantum dalam firman Allah:

وَإِنْ يَرَوْا آيَةً يُعْرِضُوا وَيَقُولُوا سِحْرٌ مُسْتَمِرٌّ

Dan jika mereka (orang-orang musyrikin) melihat suatu tanda (mukjizat), mereka berpaling dan berkata: (Ini adalah) sihir yang terus menerus.
Surah al-Qamar (54:2)

Bulan-Bulan Suci

Ada empat bulan suci dalam setahun ketika Rasulullah dan kaum Muslimin dibebaskan dari pemboikotan. Bulan-bulan suci itu adalah bulan pertama, Muharram (saat diharamkannya kekerasan), lalu bulan ketujuh, Rajab (yang dihormati), kemudian bulan kesebelas, Dzulqa’dah (bulan damai), terakhir bulan kedua belas Dzuhijjah (bulan haji).

Tetap Berdakwah

Bulan-bulan suci (Muharram, Rajab Dzulqa’dah, Dzulhijjah) itulah dimanfaatkan Rasulullah untuk semakin giat berdakwah selama pemboikotan.

ان شاءالله
bersambung…

Sumber : Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad ﷺ.
oleh: KH. Munawar Chalil.

Kisah Rasulullah #44

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ مُحَمد

Derita Pemboikotan

Pemboikotan kecil kecilan terhadap kaum Muslimin sebenarnya telah lama dijalankan. Kalau ada seseorang saudagar menjadi Muslim, Abu Jahal akan mengatakan, “Akan kami boikot barang-barangmu dan mengubahmu sampai jadi pengemis.”

Rasulullah ﷺ, Bani Hasyim dan kaum Muslimin diasingkan ke dalam Syi’ib, benteng kecil milik Abu Thalib. Kaum Quraisy menegaskan bahwa jika Bani Hasyim menyerahkan Rasulullah ﷺ, pemboikotan kepada mereka akan dicabut. Namun, bukannya merasa takut, Bani Hasyim malah semakin setia kepada Rasulullah ﷺ yang merupakan anggota keluarga mereka.

Pemboikotan ini berjalan tiga tahun lamanya. Selama itu, hanya musim haji saja Rasulullah ﷺ dan para pengikutnya bebas berdakwah keluar Syi’ib. Itu pun selalu diikuti Abu Lahab sambil mengolok-olok Rasulullah ﷺ dengan kata-kata kasar. Pada musim haji itu, Mekah ramai didatangi para peziarah dari pelosok jazirah.

Akibat adanya pelarangan hubungan dagang, saat itu, Rasulullah ﷺ tidak dapat membeli makanan yang cukup. Pada waktu-waktu yang sulit, mereka sering terpaksa makan daun daunan dan kulit-kulit pohon yang tipis. Anak-anak menangis pada malam hari karena kelaparan. Semetara itu, orang-orang dewasa mengganjal perutnya dengan batu agar tidak masuk angin.

Perbuatan kejam itu juga menimbulkan rasa kasihan sebagian orang Quraisy. Apalagi yang memiliki hubungan saudara dengan Bani Hasyim. Orang-orang itu sering dengan berbagai cara menolong keluarga mereka di dalam Syi’ib.

Suatu ketika Abu Jahal sedang meronda di sekitar Syi’ib, memergoki Hakim bin Hisyam bin Khuwailid dan budak laki-lakinya berusaha meyelundupkan gamdum dan makanan lain untuk bibinya yang tidak lain Khadijah istri Rasulullah ﷺ.

Tanpa ampun, Abu Jahal memukuli budak laki-laki itu dan merampas karung gandumnya.

“Aku bersumpah….!” teriak Abu Jahal terengah-engah sambil terus memukul. “Aku bersumpah tidak seorang pun dapat menyelundupkan makanan kepada Muhammad!”

Pada saat itu, Al Bakhtari datang sambil berseru kepada Abu Jahal. ” Hei makanan ini tadinya milik bibinya. Bibinya lalu mengirimkan kepadanya, mengapa engkau melarangnya mengantarkan makanan tersebut kepada bibinya lagi?”

Kemudian keduanya berkelahi Abu Jahal terluka karena dipukul dengan tulang unta.

Syi’ib Abu Thalib

Syi’ib Abu Thalib, tempat kaum muslimin digiring, dikurung dan dijaga, dikelilingi dinding batu tinggi yang tidak dapat dipanjat. Letaknya di Bukit Abu Qubays, sebelah timur Mekah. Pintu masuknya berupa celah sempit dengan tinggi kurang dari dua meter yang hanya dapat dimasuki unta dengan susah payah.

Derita di Pengasingan

“Ibuuu aku lapar,”…tangis seorang anak di dalam Syi’ib.

“Besok ya nak! Besok kita dapat kiriman makanan,” jawab ibunya.

“Tidak mau, aku mau makan sekaraaaang…..” Karena tidak kuat menahan perutnya yang perih, anak itu menangis dan menjerit-jerit.

Tangis dan jerit anak-anak terdengar hampir setiap malam dari dalam Syi’ib. Sebagian penduduk Mekah mulai tidak tega melihat penderitaan Bani Hasyim, tetapi mereka takut untuk membantu.

Ada empat ratus orang keluarga Bani Hasyim yang bertahan di dalam Syi’ib. Kehidupan mereka begitu keras dan penuh dengan kekurangan, tetapi tidak satupun yang berniat mengkhianati Rasulullah ﷺ. Padahal, tidak semua anggota keluarga telah memeluk agama Islam, termasuk Abu Thalib, sang pemimpin Bani Hasyim.

Kehadiran Rasulullah ﷺ di tengah-tengah mereka sudah cukup membuat mereka lupa akan segala kecemasan dan membuat mereka selalu berbahagia. Mereka mengerti bahwa Allah telah memilih mereka untuk melindungi utusan-Nya dari semua musuh. Bagi Bani Hasyim, itu sebuah kehormatan yang membuat mereka tidak mau menukar Rasulullah dengan apa pun, bahkan dengan sebuah kerajaan sekali pun. Mereka bahkan menjalankan tahun-tahun pengasingan yang pahit itu dengan rasa bangga.

Tidak satu pun dari empat ratus orang itu berniat untuk menyelamatkan dirinya sendiri. Padahal, mereka tidak tahu kapan pengasingan itu akan berakhir. Hari demi hari, minggu demi minggu, bulan demi bulan dijalani dengan penuh harapan. Mereka semua sudah bertekad mengikuti Rasulullah ﷺ kemana pun. Mereka lebih suka menjadi tawanan dari pada bebas tanpa Rasulullah. Bagi mereka, hidup tanpa Rasulullah ﷺ adalah hidup yang tidak layak di jalani.

Selama masa-masa sulit itu, ada sosok penting selain Rasulullah ﷺ yang menjadi sosok teladan bagi semua penghuni Syi’ib, bagaimana mereka harus menjalani hidup dengan penuh ketabahan.

(Bersambung)

Kisah Rasulullah #35

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ مُحَمد

Darul Arqam

Waktu terus berjalan. Kegigihan dakwah Rasulullah ﷺ mulai berbuah, sedikit demi sedikit, para pemeluk Islam mulai bertambah. Rumah Rasulullah yang kecil itu mulai terasa sempit.

“Ya Rasulullah, alangkah baiknya jika kita memindahkan tempat pertemuan ke rumahku,” usul Arqam. “Rumahku cukup luas untuk menampung jumlah kita yang sudah puluhan orang. Lagi pula, letaknya ada di puncak bukit. Orang-orang jahat tidak mudah mencapai tempat itu untuk mengganggu kita.”

Rasulullah pun setuju. Oleh karena itu, pertemuan setiap malam pun pindah ke rumah Arqam. Sebagian pemeluk Islam waktu itu adalah orang-orang lemah: para budak, buruh, orang miskin, perempuan perempuan fakir, serta orang tertindas lain. Sisanya adalah golongan orang terpelajar dan pedagang kaya.

Sebenarnya, kebanyakan pedagang mulanya agak ragu.

“Bagaimana jika nanti ajaran baru ini menutup Mekah dari rombongan saudagar dari tempat-tempat lain? Kalau demikian yang terjadi, kita akan bangkrut.” Ujar seorang pedagang.

Namun, keraguan itu ditepis Rasulullah. Islam tidak akan menutup Mekah. Islam juga tidak akan mengubah musim ziarah ketika justru banyak pedagang mancanegara berdatangan ke Mekah. Islam tidak melarang semua itu.

Hal yang dilarang adalah:

  1. Menyembah berhala
  2. Menyerahkan persembahan dan korban kepada bangsawan Quraisy
  3. Bertelanjang ketika thawaf di Ka’bah
  4. Menyelenggarakan pelacuran
  5. Mengeluarkan kata kata kotor dan tindakan buruk lain saat melaksanakan ziarah

Rencana Para Pemuka Quraisy

Setelah mendengar penjelasan Rasulullah, para pedagang pun merasa lega. Kebanyakan mereka bukan pedagang budak dan tidak menarik untung dari korban yang dipersembahkan untuk bangsawan-bangsawan Quraisy. Iman mereka pun semakin kuat.

Melihat Islam semakin dicintai para pengikutnya, para pembesar Quraisy pun menyusun rencana lain…

“Apa yang harus kita lakukan?” teriak seorang pemuka Quraisy.
“Abu Bakar dan teman-temannya terus membebaskan budak budak kita! Tidak ada jalan lain, bunuh budak budak itu agar yang lain ketakutan!”

“Tidak,” geleng Abu Jahal lemah. “Sumayyah telah kubunuh, tapi itu tidak membuat yang lain takut. Cari saja cara yang lain!”

Seorang pemuka Quraisy berdiri cepat,
“Pukuli Muhammad sampai remuk! Dengan demikian, wibawanya akan hancur dan pengikutnya pun bubar ketakutan!”

“Namun, keluarga Muhammad dari Bani Hasyim akan membelanya!” lengking yang lain.

“Siapa? Abu Thalib sudah terlalu tua! Yang harus kita takuti dari Bani Hasyim adalah Hamzah! Namun, engkau lihat sendiri, Hamzah sibuk berfoya-foya sendiri! Ia tidak peduli pada nasib keponakannya itu! Pilihlah dua orang yang paling ditakuti di Mekah untuk melaksanakan tugas ini!”

Sejenak, orang-orang terdiam sambil memandang berkeliling. Kemudian, seorang dari mereka menunjukkan jarinya kepada pemuda bertubuh tinggi besar,
“Engkau, Umar bin Khattab! Engkau dan Abu Jahal! Tidak ada orang lain yang berani melawan kalau kalian memukuli Muhammad!”

Orang-orang berseru “setuju.”

“Sabar,” tiba-tiba seseorang berseru,
“langkah awal bukanlah serangan fisik! Hancurkan dulu wibawanya! Ku usulkan agar kita suruh para budak melempari Muhammad dan meneriakinya sebagai pembohong, orang gila, dan tukang sihir!”

Usul itu disetujui. Mulai hari itu, setiap Rasulullah melewati jalan-jalan di Mekah, para budak, para wanita yang nasibnya justru sedang diperjuangkan Rasulullah, meneriaki beliau,
“Pembohong besar! Orang gila! Tukang sihir!”

Suara mereka keras dan tajam layaknya orang sedang mengusir kucing yang masuk dapur. Kemudian, apa yang terjadi jika Abu Jahal atau Umar mulai memukuli Rasulullah

Kuda Jantan

Saat itu merupakan masa yang berat bagi Rasulullah. Beliau pergi ke sebuah tempat yang teduh, berbaring di atas batu, dan berusaha menahan air matanya agar tidak jatuh. Tidak ada yang lebih menyakitkan dibanding cacian dan celaan dari orang-orang yang justru sedang diperjuangkan Rasulullah mati-matian.

Sementara itu, di depan Ka’bah, Abu Jahal berkoar di depan teman temannya,
“Aku bersumpah untuk menghantam kepala Muhammad dengan sebuah batu ketika dia sedang sujud kepada Tuhannya!”

Beberapa orang bersorak memberi semangat, sedangkan yang lain saling pandang dengan terkejut. Itu adalah sebuah tindakan kejam yang dapat menimbulkan kematian. Jika Muhammad meninggal, Bani Hasyim pasti akan menuntut balas dan Mekah akan terpecah oleh perang saudara. Namun, Abu Jahal telah mengucapkan sumpah yang tidak dapat ditarik lagi tanpa mencoreng mukanya sendiri. Oleh karena itu, mereka memilih untuk mengamati apa yang terjadi dengan dada berdebar-debar.

Kesempatan yang ditunggu Abu Jahal pun tiba. Saat itu, Rasulullah sedang shalat di depan Ka’bah. Ketika beliau sujud, Abu Jahal dengan cepat melangkah mendekat. Kedua tanganya yang menggenggam batu terangkat tinggi-tinggi, matanya menyala buas.

Namun, ketika batu akan dihujamkan sekuat tenaga, mendadak Abu Jahal berbalik pergi. Batu di tangannya lepas dan wajahnya pucat ketakutan.

“Ada apa?” semua teman- temannya bertanya kebingungan.

Dengan napas tersendat sendat, Abu Jahal berkata,
“Demi Tuhan, di depanku tadi berdiri seekor kuda jantan. Belum pernah aku menyaksikan seekor kuda jantan serupa itu. Kepala, tengkuk, dan giginya sungguh mengerikan. Aku yakin dia akan menelanku seandainya batu tadi kuhantamkan!”

Abu Jahal pergi cepat cepat untuk menenangkan diri.

Orang-orang memandang Rasulullah dengan heran dan takjub. Sementara itu, Rasulullah tetap melanjutkan shalat dengan khusyuk. Wajah beliau begitu teduh dan tenteram.

(Bersambung)

Kisah Rasulullah #32

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ مُحَمد

Dahsyatnya Iman

Abu Thalib memanggil Rasulullah dan berkata,

“Muhammad, orang orang Quraisy kembali datang padaku dan mengatakan, ‘Wahai Abu Thalib, engkau adalah orang terhormat dan terpandang di kalangan kami. Oleh karena itu, kami meminta baik-baik kepadamu untuk menghentikan keponakanmu itu, tetapi tidak juga engkau lakukan. Ingatlah, kami tidak akan tinggal diam terhadap orang yang memaki nenek moyang kita, tidak menghargai harapan-harapan kita, dan mencela berhala berhala kita. Suruh diam dia atau kami lawan dia hingga salah satu pihak nanti binasa! ‘ “

Abu Thalib memandang wajah keponakannya lekat-lekat, hampir seperti memohon, lalu katanya,

“Jagalah Aku, Nak. Jaga juga dirimu. Jangan Aku dibebani dengan hal-hal yang tidak dapat kupikul. “

Rasullullah tertegun. Beliau tahu, pamannya seolah sudah tidak berdaya lagi membelanya. Pamannya hendak meninggalkan dan melepasnya. Sementara itu, kaum muslimin masih lemah dan belum mampu membela diri. Namun, semua diserahkan pada kehendak Allah. Rasullullah bertekad untuk terus berdakwah. Lebih baik mati membawa iman daripada menyerah atau ragu-ragu.

Oleh karena itu, dengan seluruh kekuatan jiwa, Rasulullah berkata,

“Paman, demi Allah, kalau pun mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku agar aku meninggalkan tugas ini, sungguh tidak akan kutinggalkan. Biar nanti Allah yang akan membuktikan apakah kemenangan itu ada di tanganku atau aku binasa karenanya.”

Begitulah kedahsyatan iman Rasulullah. Abu Thalib sampai tertegun dan gemetar mendengar tekad keponakannya itu. Rasulullah pergi sambil menitikkan airmata, tetapi Abu Thalib memanggilnya kembali sambil berkata,

“Anakku katakanlah sekehendakmu. Aku tidak akan menyerahkan engkau apa pun yang terjadi.”

Utsman dan Ruqayyah

Sore itu, Rasulullah pulang ke rumah dengan hati yang sangat sedih. Seharian, beliau melihat para pengikutnya disiksa.

Betapa berat penderitaan orang-orang Muslim saat itu. Khadijah menghampiri suaminya tercinta. Dihibur dan dikuatkannya kembali diri Rasulullah .

Tiba-tiba, pintu terbuka. Ruqayyah, putri kedua Rasulullah, tiba-tiba masuk sambil menangis. Ruqayyah mendekap pangkuan ibunya sambil menangis tersedu-sedu.

“Ada apa, sayang?” tanya Khadijah begitu lembut, menutupi kekhawatirannya sendiri akan berita buruk yang dibawa putrinya itu.

“Suamiku menceraikan aku, Bunda,” isak Ruqayyah. “Ayah mertuaku, Abu Lahab, menyuruh suamiku menceraikan aku dan suamiku menurut. Ia dijanjikan akan dinikahkan kembali dengan putri bangsawan.”

Rasulullah dan Khadijah saling bertatapan sedih. Sudah sekejam itu Abu Lahab bertindak untuk menyakiti Rasulullah dan keluarganya.

“Ummu Jamil, ibu mertuaku, merobek-robek bajuku,” lanjut Ruqayyah pilu. “Abu Lahab memukuliku. Abu Lahab, Ummu Jamil, dan suamiku, Utbah, bersumpah tidak akan menerima lagi kehadiranku selama ayah masih tetap mendakwahkan Islam.”

Seberapa pun tabahnya Khadijah, akhirnya air matanya menitik juga melihat putrinya yang kini menjadi orang terusir. Dengan lembut, Rasulullah memeluk putrinya itu dan menghapus air mata di pipinya.

“Aku lebih sayang Ayah dan Bunda daripada siapa pun di dunia ini,” bisik Ruqayyah kepada Rasulullah.

Dengan hati pilu, Rasulullah pergi menemui Abu Bakar. Rasulullah menceritakan kejadian yang menimpa Ruqayyah.

“Ya Rasulullah,” kata Abu Bakar dengan lembut.

“Sebenarnya, dari dulu, Utsman bin Affan sudah menaruh hati pada Ruqayyah, tetapi Utbah mendahuluinya. Utsman sangat menyesal tidak dapat menyunting putri Anda.”

Mendengar penuturan Abu Bakar, Rasulullah pun kemudian menikahkan Utsman dengan Ruqayyah. Untuk sementara, berakhir satu kesedihan.

Masih banyak lagi cobaan dan ujian lain yang akan mendera Rasulullah, keluarga, dan para sahabatnya.

Duri-duri di Jalan

Gangguan Ummu Jamil dan Abu Lahab semakin menjadi jadi. Setiap kali Rasulullah ﷺ berjalan untuk menemui para pengikutnya, setiap itu pula beliau menemukan duri-duri bertebaran di jalan. Perlahan dan berhati-hati, Rasulullah ﷺ melangkah agar duri tidak menembus kakinya. Namun, hampir setiap kali pula dalam keadaan itu, kotoran dan batu melayang ke arah beliau.

Suara tawa melengking terdengar jika Rasulullah ﷺ tengah sibuk menghindari lemparan batu dan kotoran. Sambil menghapus kotoran yang melekat di pakaian, Rasulullah menoleh ke arah suara tawa. Ummu Jamil dan Abu Lahab kelihatan begitu menikmati penderitaan Rasulullah ﷺ. Ummu Jamil berpakaian mencolok dan selalu menatap Rasulullah ﷺ dengan tatapan menghina.

“Lihat!” lengking Ummu Jamil,

“Inilah Muhammad, anak gembel yang berani membawa agama baru! Agama yang dikiranya dapat menyamakan kedudukan para bangsawan dan budak!”

Rasulullah ﷺ tidak berkata apa-apa untuk membalas. Beliau hanya balik menatap dengan tatapan yang tajam.

“Percuma kamu banyak berkata, istriku! Telinganya sudah tuli!” Sembur Abu Lahab. “Hai, para budak! Lanjutkan kesenangan kalian!”

Seketika itu juga, budak-budak kuat bertubuh besar milik Abu Lahab dan Ummu Jamil kembali melempari Rasullulah ﷺ dengan batu, kotoran, dan pasir. Diperlakukan seperti itu, Rasulullah ﷺ tidak membalas sedikit pun. Beliau hanya menghindar, menahan sakit, seraya bersabar dan terus bersabar.

(Bersambung)

Kisah Rasulullah #31

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ مُحَمد

Minta Mukjizat

Bersungguh-sungguh atau hanya sekedar mengejek, orang-orang Quraisy sering meminta mukjizat kepada Rasulullah.

“Kalau Tuhanmu bisa menurunkan mukjizat, kami pasti akan beriman kepadamu!” demikian seru salah seorang dari mereka kepada Rasulullah.

“Muhammad! Kalau engkau benar benar Rasulullah, mintalah Tuhan agar menyulap Bukit Shafa dan Marwa menjadi bukit-bukit emas!” seru yang lain.

“Ya, itu benar! Tetapi kalau Tuhanmu tidak sanggup membuat bukit emas, cobalah turunkan ayat-ayat Allah itu dalam sebuah kitab yang diturunkan langsung dari langit! Itu pun sudah akan membuat kami beriman!”

Rasulullah tidak menanggapi permintaan permintaan aneh itu. Melihat Rasulullah yang tetap diam dan tenang, orang-orang Quraisy jadi semakin kesal. Dari waktu ke waktu, sering di muka umum dan disaksikan orang banyak, mereka mengajukan permintaan permintaan lain yang lebih mustahil.

“Muhammad, kami dengar engkau sering membicarakan Jibril. Mengapa engkau tidak menampakkan Jibril di hadapan kami agar kami yakin?”

“Muhammad, kalau Tuhammu memang sehebat yang engkau katakan, mintalah Ia menghidupkan orangtua orangtua kami yang sudah mati!”

“Muhammad, katamu engkau membawa agama kasih sayang buat seluruh alam! Kalau begitu, mintalah Tuhanmu agar memunculkan mata air yang lebih sedap dari sumur Zamzam! Bukankah engkau tahu bahwa penduduk Mekah sangat memerlukan air?”

“Ya, setidaknya mintalah Tuhanmu melenyapkan bukit-bukit yang mengurung Mekah agar kota ini dapat mudah dicapai orang dari arah mana pun!”

Jawaban untuk Kaum Quraisy

Allah sendirilah yang menjawab permintaan permintaan itu melalui firman-Nya:

قُلْ لَا أَمْلِكُ لِنَفْسِي نَفْعًا وَلَا ضَرًّا إِلَّا مَا شَاءَ اللَّهُ ۚ وَلَوْ كُنْتُ أَعْلَمُ الْغَيْبَ لَاسْتَكْثَرْتُ مِنَ الْخَيْرِ وَمَا مَسَّنِيَ السُّوءُ ۚ إِنْ أَنَا إِلَّا نَذِيرٌ وَبَشِيرٌ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ

Katakanlah: Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman.
Surah Al-A’raf (7:188)

Melalui ayat ini, Allah menyuruh Rasulullah mengatakan, _”Wahai orang Quraisy, aku hanyalah seorang pemberi peringatan. Bukankah aku tidak meminta kepadamu hal-hal di luar kemampuan akal? Mengapa kamu justru memintaku menunjukkan hal-hal yang tidak masuk akal?

“Wahai orang Quraisy, bukankah Al Qur’an itu sendiri merupakan sebuah mukjizat? Kemudian, mengapa kamu masih meminta mukjizat yang lain? Apakah jika mukjizat itu benar-benar diturunkan, kamu akan beriman kepadaku? Bukankah jika mukjizat itu turun, kamu akan mengatakan bahwa aku hanyalah seorang penyihir yang mengada-ada?

“Wahai orang Quraisy, kalau kamu tidak mau menyembah Allah dan tetap menyembah berhala, mengapa tidak kamu minta saja mukjizat mukjizat tadi kepada para berhala itu? Bukankah kamu tahu bahwa berhala berhala itu tidak dapat mendatangkan kebajikan? Bukankah mereka tidak bergerak, tidak hidup, dan hanya terbuat dari batu dan kayu? Bukankah mereka tidak dapat membela diri jika ada orang yang datang dan menghancurkannya?

Demikianlah, Rasulullah menjawab dengan kata kata yang tidak dapat lagi dibantah kebenarannya. Namun, apakah orang orang kafir itu seketika mau menerima Islam? Tidak, mereka bahkan melakukan hal-hal lain untuk menyingkirkan Rasulullah.

Ammarah bin Walid

Sekali pun tidak memeluk Islam, Abu Thalib adalah pelindung Rasulullah. Jika ada orang yang membahayakan Rasulullah, Abu Thalib dan kabilahnya siap membelanya sampai titik darah penghabisan. Tidak ada musuh Rasulullah yang berani membunuh beliau tanpa menghadapi Abu Thalib dan kabilahnya. Karena mengetahui kokohnya perlindungan Abu Thalib ini, para pemuka Quraisy mendatangi orangtua itu di rumahnya.

“Abu Thalib,” demikian mereka mengajak bicara,

“keponakanmu itu sudah memaki berhala-berhala kita, mencaci agama kita, dan menganggap sesat nenek moyang kita. Engkau harus menghentikan dia sekarang. Jika tidak, biarlah kami yang akan menghadapinya. Kalau kamu melindunginya juga, biar kabilah-kabilah kami yang akan menghadapi kabilahmu.”

Abu Thalib menghela napas berat,
“Demi Tuhan Ka’bah, biar seluruh Mekah menghalangi jalanku, aku akan tetap melindungi kemenakanku itu.”

Para pemimpin Quraisy itu saling berpandangan, lalu pergi tanpa berkata apa-apa. Bagaimanapun, mereka belum sanggup menghadapi perang saudara yang akan menghancurkan kota Mekah. Mereka memutar akal dan menemukan muslihat lain.

Para pemimpin Quraisy itu kembali mendatangi Abu Thalib sambil membawa serta Ammarah bin Walid. Ia adalah pemuda Quraisy yang gagah perkasa dan paling tampan wajahnya.

“Ambillah dia! Jadikan dia sebagai anak. Ia jadi milikmu. Namun, serahkanlah keponakanmu yang menyalahi agama kita dan agama nenek moyang kita, yang memecah belah persatuan kita itu untuk kami bunuh!”

“Bagaimana, Abu Thalib? Bukankah ini pertukaran yang adil? Seorang laki-laki ditukar pula dengan seorang laki-laki!”

Wajah Abu Thalib berubah murka. Dengan mata menyala, ditatapi nya para bangsawan itu satu demi satu.

“Betapa buruknya tawaran kalian kepadaku ini!” geram Abu Thalib.

“Bayangkan, kalian memberikan anakmu kepadaku untuk aku beri makan, sedangkan aku harus menyerahkan anakku untuk kalian bunuh! Demi Tuhan Ka’bah, ini adalah hal yang tidak boleh terjadi buat selamanya!”

Abu Thalib adalah pemimpin kabilah Bani Hasyim. Kini Bani Hasyim terpecah dua. Kaum miskinnya membela Abu Thalib, sedang kaum kayanya membela Abu Lahab.

(Bersambung)

Kisah Rasulullah #29

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ مُحَمد

Kaum Muslimin Awal

Mengetahui betapa kerasnya kebencian orang-orang Quraisy, kaum Muslimin permulaan (Assaabiquunal Awaluun), melaksanakan ibadah mereka secara sembunyi-sembunyi. Jika hendak shalat mereka pergi ke celah-celah gunung di Mekah. Keadaan ini berlangsung selama tiga tahun berturut turut. Sementara itu, sedikit demi sedikit Islam semakin meluas. Firman Allah yang turun satu demi satu semakin memperkuat keyakinan kaum Muslimin.

Ada satu hal yang membuat dakwah Islam berkembang, yaitu keteladan Rasulullah ﷺ, yang beliau contohkan dengan sangat baik. Beliau adalah orang yang penuh bakti dan penuh kasih sayang. Beliau juga sangat rendah hati sekaligus gagah berani. Tutur kata beliau lembut dan selalu berlaku adil. Hak setiap orang pasti ditunaikan sebagaimana mestinya. Perlakuan Rasulullah ﷺ terhadap orang-orang yang lemah, yatim piatu, orang sengsara, dan orang miskin adalah perlakuan yang penuh kasih, lembut dan sayang.

Pada malam hari beliau tidak cepat tidur, Beliau bertahajud dan membaca wahyu yang disampaikan Allah padanya. Beliau selalu merenung tentang nasib umatnya. Beliau juga merenungkan betapa luar biasanya penciptaan langit, bumi dan segala isinya. Seluruh permohonannya dihadapkan kepada Allah. Hal-hal seperti itu membuat orang-orang yang sudah beriman semakin bertambah cintanya kepada Islam dan semakin kukuh keimanannya. Mereka sudah berketetapan hati meninggalkan sesembahan nenek moyang mereka dan tidak takut siksaan orang orang kafir yang membencinya.

Kalau orang lain telah Rasulullah ﷺ dakwahi bagaimana dengan keluarga beliau? Apakah beliau juga berdakwah kepada paman-paman beliau yang sebagiannya merupakan para pembesar Quraisy yang disegani? Apa yang mereka lakukan ketika mereka tahu bahwa Rasulullah ﷺ mengajak meninggalkan sesembahan berhala yang telah begitu lama diwariskan oleh nenek moyang mereka.

Jamuan Makan Untuk Kerabat

Tidak ada yang lebih dicintai Rasulullah ﷺ daripada kaum kerabatnya sendiri. Setelah tiga tahun, turunlah firman Allah yang memerintahkan agar beliau berdakwah kepada kerabatnya.

وَأَنْذِرْ عَشِيرَتَكَ الْأَقْرَبِينَ

Dan berilah peringatan kepada kerabat kerabat mu yang terdekat,
Asy-Syu’ara’ (26:214)

وَاخْفِضْ جَنَاحَكَ لِمَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ

dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman.
Asy-Syu’ara’ (26:215)

فَإِنْ عَصَوْكَ فَقُلْ إِنِّي بَرِيءٌ مِمَّا تَعْمَلُونَ

Jika mereka mendurhakaimu maka katakanlah: Sesungguhnya aku tidak bertanggung jawab terhadap apa yang kamu kerjakan;
Asy-Syu’ara’ (26:216)

وَتَوَكَّلْ عَلَى الْعَزِيزِ الرَّحِيمِ

Dan bertawakkallah kepada (Allah) Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang,
Asy-Syu’ara’ (26:217)

Rasulullah ﷺ mengundang makan keluarga besar beliau. Mereka pun datang,

“Muhammad beri aku arak!” seru seorang paman beliau yang bernama Zubair.

Namun Rasulullah SAW hanya menyuguhkan susu. Setelah mereka makan, Rasulullah ﷺ berdiri dan berkata,

“Saya tidak melihat ada seorang manusia di kalangan Arab yang dapat membawa sesuatu ke tengah-tengah masyarakat lebih baik dari yang saya bawakan kepada kamu sekalian ini. Kubawakan kepada kamu dunia dan akhirat yang terbaik. Allah telah menyuruhku mengajak kamu sekalian. Siapa di antara kamu yang mau mendukungku?”

Setelah sesaat terpesona, semua orang menggerutu dan bangkit hendak pulang. Namun mereka kembali terperangah ketika Ali bin Abu Thalib yang masih remaja bangkit seraya berseru lantang,

“Rasulullah saya akan membantumu! Saya adalah lawan siapa saja yang engkau tentang!”

Rasulullah ﷺ menepuk bahu Ali sambil berkata kepada yang lain,

“Inilah saudara saya, pembantu, dan pengganti saya. Ikuti dan patuhilah dia!”

Mendadak tawa hadirin meledak. Seseorang berkata kepada Abu Thalib,

“Ia memerintahkan engkau supaya mendengar dan mematuhi anakmu sendiri”

Kemudian, semua orang bubar begitu saja. Tidak seorang pun di antara para undangan yang tertawa terbahak-bahak itu menyadari bahwa di antara mereka akan ditebas Ali memang bersungguh-sungguh dengan kata-katanya itu.

Walid bin Mughirah

Pada awal kenabian, ada seorang bernama Walid bin Mughirah. Ia mempunyai dua sahabat yang merupakan penyair hebat. Dengan syair syairnya, mereka berusaha menjelek jelekkan Rasulullah SAW. Dengan syair, Walid mempengaruhi orang banyak dengan dua sahabat penyairnya.

Penduduk Mekah Tidak Hirau

Meski ajaran Rasulullah ﷺ meluas dengan cepat, penduduk Mekah masih berhati-hati dan tidak terlalu hirau. Mereka menduga ajakan Rasulullah ﷺ akan hilang dengan sendirinya dan orang akan kembali menyembah kepercayaan nenek moyang mereka. Yang akhirnya, yang menang pasti Hubal, Latta dan Uza pikir mereka, tidak sadar bahwa keimanan murni yang diajarkan Rasulullah ﷺ tidak dapat dikalahkan.

(Bersambung)

Kisah Rasulullah #21

Pembicaraan Abu Thalib

Pada musim semi tahun 595 Masehi, para pedagang Mekah kembali mulai menyusun kafilah perdagangan musim panas mereka, untuk membawa barang dagangan ke Syria. Khadijah juga sedang mempersiapkan barang dagangannya, tetapi ia belum menemukan seseorang untuk menjadi pemimpin kafilahnya. Beberapa nama diusulkan orang, namun, tidak satu pun yang berkenan di hatinya.

Mendengar itu, Abu Thalib mendatangi Khadijah dan menawarkan kepadanya Muhammad, keponakannya yang baru berusia 25 tahun, untuk menjadi agen Khadijah. Abu Thalib tahu bahwa Muhammad belum cukup berpengalaman, tetapi ia sangat yakin bahwa Muhammad lebih dari sekadar mampu.

Sebagaimana penduduk Mekah yang lain, Khadijah pun telah mendengar nama Muhammad. Satu hal yang Khadijah yakin adalah kejujuran Muhammad. Bukankah orang Mekah menjulukinya “Al Amin” atau “Orang yang bisa dipercaya”. Maka, Khadijah menyetujui tawaran Abu Thalib. Bahkan ia hendak memberi imbalan dua kali lipat kepada Muhammad dari yang biasa diberikan kepada orang lain. Oleh karena itu, Abu Thalib pulang dengan gembira.

Segera saja Abu Thalib dan Muhammad menemui Khadijah yang kemudian menerangkan tentang seluk beluk perdagangan. Otak Muhammad yang cerdas bekerja dengan tangkas. Ia segera memahami semuanya. Tidak satu penjelasan pun yang ia minta untuk diterangkan ulang.

Maka, kafilah pun disiapkan dengan suara riuh rendah. Khadijah menyertakan seorang pembantu laki-lakinya yang terpercaya, Maisarah, untuk mendampingi Muhammad di perjalanan. Diantar Abu Thalib dan paman-pamannya yang lain, Muhammad datang pada hari yang telah ditentukan. Mereka disambut seorang paman Khadijah yang sedang menanti mereka dengan surat-surat perdagangan.

Pemimpin kafilah membunyikan tanda dan semuanya segera berangkat. Pada musim panas, kafilah Mekah berangkat menjelang senja dan terus berjalan pada malam hari. Mereka beristirahat pada siang hari karena perjalanan siang akan sangat melelahkan semua orang.
Maka, berangkatlah Muhammad menempuh jalur yang pernah ditempuh bersama pamannya 13 tahun yang lalu.

Imbalan untuk Muhammad

Imbalan yang diberikan Khadijah untuk seorang agen adalah dua ekor unta. Akan tetapi, Abu Thalib minta empat ekor unta. Maka, Khadijah pun menjawab,
“Kalau permintaan itu bagi orang yang jauh dan tidak kusukai saja akan kukabulkan, apalagi buat orang yang dekat dan kusukai.”

Berdagang ke Syam

Dalam perjalanan, Muhammad mengenali bahwa Maisarah adalah teman yang baik. Dengan senang hati, Maisarah menunjukkan dan menceritakan sejarah berbagai tempat menarik yang mereka lewati. Muhammad juga menemui bahwa anggota kafilah yang lain sangat ramah dan akrab terhadapnya.
Setelah satu bulan berjalan, tibalah mereka di Syria.

Setelah beristirahat beberapa hari, mulailah para pedagang menuju ke pasar. Walaupun ini adalah pengalaman pertama. Muhammad sama sekali tidak bingung dengan tugasnya. Maisarah tercengang melihat kelihaian Muhammad mengambil keputusan, pikirannya yang tajam, serta kejujurannya. Semua barang yang mereka bawa laku terjual dengan jumlah keuntungan yang belum pernah didapatkan Khadijah sebelum itu.
Setelah itu, Muhammad membeli barang-barang berkualitas yang akan dibawa pulang ke Mekah untuk dijual dengan harga tinggi.

Di Syria, setiap orang yang berjumpa dengan Muhammad pasti sangat terkesan olehnya. Penampilan Muhammad sangat memesona, ramah, dan sangat besar perhatiannya pada setiap orang. Di tengah-tengah kesibukan itu, Maisarah melihat bahwa Muhammad selalu memanfaatkan setiap waktu senggang untuk menyendiri dan berpikir. Ini benar-benar tidak lazim bagi Maisarah. Ia tidak menyadari bahwa tuan mudanya ini memang sangat terbiasa meluangkan waktu untuk memikirkan nasib umat manusia.

Muhammad juga amat heran melihat perpecahan berbagai kelompok Nasrani di Syria. Setiap masing-masing dari mereka memiliki jalan dan pendapat sendiri padahal seharusnya mereka bergabung dalam satu kelompok. Manakah yang paling benar dari semuanya itu. Pikiran-pikiran seperti ini membuat mata Muhammad selalu terbuka pada saat orang-orang lain terlelap tidur.

Akhirnya, waktu untuk pulang pun tiba. Oleh-oleh untuk handai tolan pun dibeli dan semua barang dikemas. Waktu pulang adalah waktu yang paling menggembirakan karena mereka akan berjumpa lagi dengan orang-orang tercinta di kampung halaman. Mereka tidak sabar lagi mendengar tawa ria anak-anak mereka saat kembali nanti dan mereka sadar jika waktu itu tiba, tidak akan kuat lagi mereka menahan air mata.

Hari Jum’at

Hari Jum’at pada zaman jahiliyah adalah hari bersuka ria di seluruh jazirah. Semua orang sibuk di pasar.
Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa, pernah terjadi, khutbah Jum’at Rasulullah hampir terganggu, karena saat itu datang kafilah membawa barang dagangan.
Pada hari Jum’at, semangat berdagang mengaliri darah semua orang pada saat itu.

(Bersambung)