Yayasan Bunga Bangsa Bondowoso

menyantuni anak yatim dan tahfidz

Category Archive : info

Kisah Rasulullah #56

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمد

Rintangan dari Abu Lahab

Selain terus-menerus berdakwah kepada orang orang Mekah, Rasulullah juga menyampaikan ajaran Islam kepada orang orang yang datang ke Mekah. Bangsa Arab berkumpul di Mekah pada pekan-pekan tertentu beberapa kali dalam setahun, misalnya di Pasar Ukazh, yang diadakan selama bulan Syawal, kemudian Pasar Mujannah, yang berlangsung setelah bulan Syawal selama dua puluh hari.

Jika Rasulullah tahu ada rombongan datang, Beliau segera pergi mendatangi mereka sambil berkata,

“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Allah memerintahkan kamu sekalian supaya menyembah kepada-NYA dan janganlah kamu menyekutukan Dia dengan sesuatu.”
“Wahai sekalian manusia ucapkanlah olehmu, Tiada Tuhan melainkan Allah, supaya kamu berbahagia!”

Namun, di mana pun Rasulullah datang pasti di belakang beliau Abu Lahab datang mengikuti sambil berseru keras-keras,

“Hai sekalian manusia, sesungguhnya orang ini memerintahkan kamu sekalian supaya meninggalkan agama orangtua-orangtuamu terdahulu! Hai sekalian manusia, janganlah kamu dengarkan perkataan orang ini karena dia itu pendusta!”

Bahkan sesekali jika marahnya sudah memuncak, Abu Lahab melempar kepala Rasulullah dari belakang dengan batu!

Akibat tindakan Abu Lahab ini, sangat sedikit orang yang mau menerima seruan Islam. Orang-orang Islam pun bahkan belum berani menunjukkan keislamannya secara terang-terangan. Kebanyakan orang mencaci, mencemooh, mengusir, dan mendustakan Rasulullah.

Akan tetapi, beliau tidak pernah berputus asa. Beliau terus berdakwah semakin gencar dan semakin bersemangat. Berkat kegigihan yang luar biasa inilah, Allah mulai menunjukkan tanda tanda kemenangan dari sebuah kota bernama Yatsrib.

Utbah bin Rabi’ah

Selain Abu Lahab, salah seorang yang memusuhi Rasulullah adalah Utbah bin Rabi’ah. Namun, Utbah lebih lembut. Utbah memberi Rasulullah anggur ketika beliau diusir dari Tha’if.

Orang-Orang Yatsrib

(Suatu saat kelak, Rasululllah mengubah nama Yatsrib menjadi Madinah). Orang-orang Yatsrib termasuk rombongan orang Arab yang sering datang ke Mekah. Mereka terpecah menjadi dua golongan orang Aus dan orang Khazraj.

Kedua suku ini saling berperang satu sama lain selama 120 tahun. Suatu saat kaum Aus menang. Pada saat lain, orang Khazraj yang mengalahkan Aus.

Suatu malam di Bukit Aqabah, Mina, Rasulullah bertemu dengan enam orang Khazraj. Mula-mula beliau mengajukan pertanyaan, kemudian orang-orang itu menjawab dengan sopan. Kemudian Rasulullah memperkenalkan diri dan bertanya,

“Bagaimana keadaan kalian di Yatsrib?”

Sesudah itu beliau mengajak mereka duduk bersama dan memenuhi ajakan itu dengan penuh rasa ingin tahu. Sesudah saling bertanya, Rasulullah mengajak mereka ke tempat yang sunyi, sedikit jauh dari penglihatan orang. Di tempat itu, Rasulullah membacakan ayat-ayat Al-Qur’an. Keenam orang Khazraj itu mengerti dan tertarik segala apa yang beliau serukan.

Setelah Rasulullah yakin dengan kesungguhan orang-orang ini, beliau mengajak berpindah tempat lagi ke bawah Bukit Aqabah. Tempat itu benar-benar terlindung dari jangkauan penglihatan orang. Di tempat aman itulah, Rasulullah mengajak mereka mendukung kenabian beliau. Rasulullah meminta agar mereka ikut menyebarkan ajaran Islam di kota asal mereka, Yatsrib.

Orang-orang itu minta waktu untuk berunding.

“Rupanya ini adalah jalan yang diberikan Tuhan,” demikian salah satu dari mereka berkata,

“Aku sudah bosan berperang dengan Aus, mudah-mudahan ajaran Islam ini akan menyatukan kita dan Aus dalam perdamaian.”

Setelah selesai, mereka menyatakan percaya dan sungguh-sungguh mendukung penyebaran Islam di Yatsrib. Rasulullah kemudian menasihati agar mereka seiya sekata, tolong menolong, dan bantu membantu dalam menjalankan tugas mulia ini.

Baiat Aqabah Pertama

Keenam orang itu kembali ke Yatsrib dan menyerukan Islam kepada seluruh penduduknya.

“Muhammad adalah nabi terakhir utusan Tuhan yang didustakan kaumnya sendiri,” demikian kata mereka.

Segera saja nama Rasulullah menjadi terkenal di kalangan penduduk Yatsrib.

Pada musim haji berikutnya, lima dari enam orang itu kembali ke Mekah bersama tujuh orang rekan mereka. Dua berasal dari Aus dan sepuluh orang berasal dari Khazraj. Mereka menemui Rasulullah di Bukit Aqabah. Saat itu, sudah dua belas tahun lamanya Rasulullah menyebarkan Islam.

Setelah Rasulullah membacakan ayat-ayat Al-Qur’an mereka menyatakan percaya akan seruan beliau. Rasulullah pun kemudian membaiat (sumpah setia) mereka.
Inilah yang terkenal sebagai Baiat Aqabah pertama.

Dalam baiat ini, Rasulullah mengajak mereka bersumpah untuk:

  1. Menyembah Allah dan tidak menyekutukan-NYA
  2. Tidak mencuri
  3. Tidak bergaul dengan wanita yang belum dinikahi
  4. Tidak membunuh anak-anak, seperti yang saat itu banyak terjadi
  5. Tidak berdusta dan tidak membuat kedustaan
  6. Tidak menolak perkara yang baik
  7. Hendaknya selalu mengikuti Rasulullah, baik saat senang maupun susah
  8. Hendaknya selalu mengikuti Rasulullah, baik terpaksa maupun sukarela
  9. Jangan begitu saja merebut suatu perkara kecuali Allah memberikan bukti tanda-tanda kekafiran kepada orang yang mengerjakannya
  10. Hendaklah mengatakan kebenaran di mana pun berada dan tidak takut akan celaan orang

Sebagai penutup, Rasulullah bersabda,

“Hendaklah kalian menepati janji-janji ini, kelak kalian akan menerima balasan Allah berupa surga. Namun, jika ada yang menyalahi janji ini, aku serahkan urusannya kepada Allah semata.”

Ucapan Baiat

Ucapan baiat atau sumpah setia ini sebenarnya adalah menjulurkan tangan kanan ke depan telapak tangan menghadap keatas, sedangkan pembaiat menjabat dengan posisi tangan disebelah atas.
Baiat Aqabah yang pertama dikenal dengan nama baiat wanita sebab Rasulullah belum meminta mereka membela beliau dengan berperang.

(Bersambung)

Kisah Rasulullah #55

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ مُحَمد

Quraisy Gempar

Saat itu, di dekat Ka’bah telah berkumpul para pembesar Quraisy. Mereka melihat Rasululllah, Abu Jahal bertanya dengan congkak,

“Hai Muhammad! Adakah engkau mendapat suatu perkara baru lagi?”

“Ya, aku baru mendapat suatu perkara yang baru.”

“Apa itu? Ceritakanlah,” Abu Jahal bersiap mengejek.

“Semalam aku pergi ke Baitul Maqdis.”

Senyum Abu Jahal melebar,
“Ke Baitul Maqdis dan pagi-pagi begini sudah kembali tiba disini?”

“Ya, semalam aku pergi di Baitul Maqdis.”

Abu Jahal tertawa sambil menggeleng-geleng heran,

“Apakah kamu berani menyatakan hal ini di muka kaumku? Kalau memang berani, saya akan memanggil mereka. Ceritakanlah kepada mereka hal yang telah kamu katakan kepadaku tadi!”

“Baik panggil mereka kemari,” tegas Rasulullah.

Seketika itu juga, Abu Jahal pergi memanggil semua pembesar Quraisy dan orang-orang biasa.

Dalam waktu singkat, semua orang berduyun-duyun ke hadapan Rasulullah.

“Hai Muhammad!” Seru Abu Jahal.
“Katakanlah kepada kaumku sekarang seperti yang kamu katakan tadi kepadaku!”

Rasulullah pun bersabda,
“Semalam saya pergi ke Baitul Maqdis.”

Orang-orang terperangah. Semua orang yang hadir disitu bersikap seolah olah kurang jelas mendengar kata-kata Rasulullah.

“Pergi kemana, Muhammad?”

“Semalam saya pergi ke Baitul Maqdis.”

Seketika itu, gemparlah suasana. Suara tawa dan cemooh menggemuruh. Mengalahkan suara suara itu Abu Jahal berteriak,

“Muhammad itu memang selalu mengada-ada dengan ucapannya!”

Olok-olok makin terdengar riuh. Ada yang mengejek. Ada yang tertawa. Ada yang bertepuk tangan.
Bagi bangsa Arab, tepuk tangan adalah bukan tanda semangat. Tepuk tangan atau menaruh tangan diatas kepala adalah tanda mengejek dan hinaan bagi seseorang yang kata katanya dianggap tidak bisa dipercaya.

Orang-orang itu memanggil Abu Bakar. Mereka ingin tahu yang akan dikatakan Abu Bakar, orang yang selama ini begitu kukuh kepercayaannya kepada Rasulullah.

Abu Bakar Membenarkan Cerita Rasulullah

“Kalian berdusta,” kata Abu Bakar kepada orang orang yang datang kepadanya.

“Sungguh, Muhammad kini berada di Ka’bah sedang berbicara dengan orang banyak.”

“Kalaupun itu yang dikatakannya,” kata Abu Bakar,
“Tentu dia bicara yang sebenarnya. Dia mengatakan kepadaku bahwa ada berita dari Tuhan, dari langit ke bumi pada waktu malam atau siang aku percaya. Padahal tadi itu lebih mengherankan daripada berita sekarang ini.”

Abu Bakar kemudian mendatangi Rasulullah. Saat itu, orang-orang Quraisy sedang meminta Rasulullah menggambarkan bentuk Baitul Maqdis. Mereka tahu, Rasulullah belum pernah satu kali pun berkunjung ke tempat itu. Sementara itu, beberapa orang dari mereka telah terbiasa berdagang sampai ke Syam dan melewati Baitul Maqdis berkali-kali. Abu Bakar adalah salah seorang yang pernah berdagang ke sana.

Mendengar Rasulullah begitu tepat menggambarkan keadaan Baitul Maqdis, Abu Bakar berkata di hadapan semua orang,

“Rasulullah, saya percaya!”

Bahkan, orang-orang kafir sekali pun menggeleng geleng kepala, heran bercampur kagum mendengar kata-kata Abu Bakar. Mereka menghormati kesetiaan dan tingginya rasa percaya Abu Bakar kepada Rasulullah.

Rasulullah sendiri sangat gembira mendengar perkataan Abu Bakar. Padahal saat itu, semua orang dihadapannya tengah bertanya-tanya, mengejek, dan mencaci. Bahkan yang lebih menyakitkan, beberapa orang yang sudah memeluk Islam kembali murtad karena tidak percaya dengan apa yang Rasulullah sampaikan.

Sejak saat itu Rasulullah memberi julukan kehormatan dan kesayangan “As-Shiddiq” kepada Abu Bakar. Artinya adalah “yang tulus hati”, “yang sangat jujur.”

Bukti dari Kafilah

Merasa belum cukup mendengar betapa tepat gambaran Rasulullah tentang Baitul Maqdis, orang-orang Quraisy meminta bukti yang lain.

Rasulullah mengatakan, bahwa dalam perjalanan, beliau melewati beberapa kafilah yang sedang dalam perjalanan menuju Mekah atau ke arah Syam. Rasulullah mengatakan bahwa di salah satu kafilah, seekor unta terjerembab karena terkejut oleh kehadiran Buraq. Rasulullah juga mengatakan tempat kafilah itu berada.

“Saya melanjutkan perjalanan,” demikian sabda Rasulullah,
“sampai tiba di Dhajanan, melewati sebuah kafilah bani fulan. Kutemukan mereka semua sedang tertidur. Mereka mempunyai sebuah guci yang tertutup. Saya membuka tutupnya dan meminum air itu lalu menutupnya kembali.”

Sudah menjadi kebiasaan kafilah Arab untuk menyediakan guci minum yang bisa dinikmati oleh siapa pun tanpa perlu izin lagi. Bahkan biasanya yang disediakan adalah susu.

“Sebagai bukti kafilah itu sekarang sedang menuruni dataran tinggi Baydha di celah Tan’im. Kafilah itu dipimpin seekor unta berwarna kelabu dengan muatan dua kantong, yang satu hitam dan yang lain belang.”

Orang-orang kemudian bergegas menuju celah itu. Mereka menemukan bahwa unta pertama yang mereka jumpai sedang memimpin kafilah memang persis seperti yang digambarkan Rasulullah.

Orang-orang juga bertanya kepada anggota kafilah itu tentang guci air.

“Ketika kami bangun pada pagi hari tadi, guci itu masih tertutup, tetapi isinya kosong. Padahal semalam guci itu penuh berisi air,” jawab anggota kafilah.

Orang-orang saling berpandangan mengakui yang Rasulullah katakan. Terlebih lagi setelah itu, mereka bertanya pada rombongan kafilah lain tentang unta yang terjerembab.

“Kami memang terkejut mendengar sesuatu seperti apa yang bergerak cepat di langit. Sesuatu itu membuat seekor unta kami terkejut dan terjerembab.”

Demikian bukti-bukti kebenaran Isra’ Mi’raj sudah begitu kuat. Namun, orang-orang seperti Abu Jahal tidak bisa berubah menjadi orang beriman.

(Bersambung)

Sumber: Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad ﷺ.
oleh : KH. Munawar Chalil.

Kisah Rasulullah #54

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ مُحَمد

Ke Langit Berikutnya

Rasulullah melanjutkan perjalanannya bersama Jibril. Beliau melihat orang orang berbibir seperti bibir unta. Di mulut mereka ada potongan api berbentuk batu yang mereka telan lalu keluar lagi lewat duburnya, kemudian ditelan lagi begitu seterusnya.

“Siapakah mereka ini?” Rasulullah bertanya tanya.

“Mereka adalah para pendosa yang memakan harta anak yatim.”

Setelah itu, beliau melihat orang-orang seperti keluarga Fir’aun. Perut mereka membesar, sedangkan serombongan unta-unta gila menginjak injak perut mereka di neraka. Orang-orang itu tidak mampu lagi menghindar.

“Siapakah orang-orang ini?” tanya Rasulullah.

“Orang-orang itu adalah para pemakan riba. Mereka biasa meminjamkan uang kepada orang lain, tetapi meminta uang pinjaman itu dikembalikan dalam jumlah yang lebih besar dibandingkan uang yang dipinjam.”

Setelah itu, Rasulullah melihat orang-orang yang di hadapan mereka ada dua jenis daging, satu empuk dan lezat, sedang yang satu lagi kesat dan busuk. Akan tetapi, orang orang itu memakan daging yang busuk.

“Siapakah mereka ini?” kembali Rasulullah bertanya.

Dijelaskan kepada beliau bahwa orang-orang itu menelantarkan istrinya dan mendekati perempuan lain yang tidak halal.

Dalam perjalanan berikutnya, Rasulullah dibawa ke langit kedua. Beliau berjumpa dengan Nabi Isa dan Nabi Yahya (Putra Nabi Zakaria). Keduanya adalah saudara sepupu dari garis ibu.

Di langit ketiga, beliau berjumpa dengan seorang nabi yang wajahnya begitu tampan seperti bulan purnama.
Itu adalah Nabi Yusuf.

Di langit keempat, Rasulullah bertemu dengan Nabi Idris yang telah dimuliakan Allah dengan diangkat dari dunia ke tempat yang tinggi.

Di langit kelima, Rasulullah bertemu Nabi Harun (putra Imran). Nabi Harun adalah nabi yang dikasihi kaumnya.

“Belum pernah saya bertemu orang segagah dia,” demikian sabda Rasulullah tentang Nabi Harun.

Menerima Perintah Shalat

Di langit keenam, Rasulullah bertemu dengan Nabi Musa.

Lalu, di langit ketujuh, beliau bertemu dengan seorang laki-laki yang sedang duduk di atas singgasana gerbang surga (Baitul Makmur). Setiap hari, 70 ribu malaikat masuk lewat gerbang itu dan tidak keluar lagi sampai Hari Kebangkitan.

“Belum pernah saya melihat orang yang lebih menyerupai saya,”
Laki-laki itu ayah saya, Nabi Ibrahim.

Kemudian, ia membawa saya ke surga dan disitu saya melihat seorang gadis berbibir merah gelap, dan saya tanyakan dia, milik siapa ia sebab ia begitu gembira ketika berjumpa dengan saya, dan jawabnya,

“Saya milik Zaid bin Haritsah.”

Kemudian Rasulullah dibawa ke hadapan Arasy sehingga bertemu Allah. Segalanya tidak dapat dilukiskan dengan lidah dan di luar jangkauan daya otak manusia. Bertemu dengan Allah Yang Maha Agung membuat Rasulullah merasakan kesejukan sampai ke tulang punggungnya. Kemudian, rasa tenang dan damai membanjiri perasaan beliau, begitu terasa nikmat. Pada saat itulah, Rasulullah, Allah memerintahkan agar setiap Muslim melakukan shalat lima puluh kali sehari semalam.

Begitu Rasulullah turun dari Arasy, beliau bertemu Nabi Musa yang berkata,

“Bagaimana engkau mengharap pengikut pengikutmu akan melakukan shalat lima puluh kali setiap hari? Sebelum engkau, aku sudah punya pengalaman, sudah kucoba terhadap Bani Israil sekuat daya. Percayalah dan kembalilah kepada Allah, minta supaya dikurangi jumlah shalat itu.”

Kemudian Rasulullah kembali menemui Allah. Kemudian jumlah shalat dikurangi jadi empat puluh kali setiap hari.

Namun, Nabi Musa menganggap masih di luar kemampuan orang. Dia sarankannya lagi Rasulullah kembali meminta keringanan. Demikianlah, beberapa kali Rasulullah bolak-balik menemui Allah sampai akhirnya jumlah shalat ditetapkan menjadi lima kali sehari semalam.

Kemudian, Rasulullah kembali ke Bumi dengan menuruni tangga. Buraq pun membawa Rasulullah kembali ke Mekah.

Mengabarkan Isra Mi’raj

Menjelang fajar Rasulullah membangunkan Ummu Hani dan keluarganya.
“Oh Ummu Hani,” sabda Rasulullah,

“seperti engkau maklum, semalam aku shalat malam terakhir bersama kamu. Kemudian aku ke Baitul Maqdis dan shalat di sana. Baru saja, saat ini, kita shalat subuh bersama.”

Rasulullah kemudian bangkit, meninggalkan Ummu Hani yang masih terperangah. Ummu Hani tahu beliau akan keluar dan mengabarkan Isra’ dan Mi’raj kepada orang banyak. Rasulullah berdiri dan berjalan ke pintu begitu cepat seolah-olah tidak sabar lagi untuk mengabarkan perjalanan ini. Padahal, beliau tahu apa akan dikatakan orang Quraisy yang selama ini memusuhinya. Namun, semangat Rasulullah tidak terhalangi oleh hal-hal semacam itu.

Rasa khawatir Ummu Hani menggunung seketika. Begitu cepatnya langkah Rasul sehingga Ummu Hani terpaksa menarik jubah Rasul dengan tergesa-gesa.

“Ya Rasulullah, jangan mengatakannya pada khalayak ramai. Nanti mereka menuduh engkau berdusta dan mereka akan menghinamu.”

Rasulullah tersenyum menentramkan, “Demi Allah, saya akan tetap mengatakannya.”

Ummu Hani tidak bisa berkata apa-apa lagi melihat tekad Rasulullah yang sudah demikian kuat. Ketika Rasulullah pergi, dilihatnya beliau dengan pandangan khawatir. Ummu Hani segera memanggil seorang hamba sahayanya, seorang perempuan dari Habasyah.

“Pergilah, ikuti Rasulullah dan dengar yang dikatakan kaumnya terhadap beliau.”

Hamba sahaya itu pun bergegas pergi.

(Bersambung)

Sumber: Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad ﷺ.
oleh : KH. Munawar Chalil.

Kisah Rasulullah #53

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ مُحَمد

Aisyah dan Saudah

Walau keadaan semakin berat, Rasulullah tetap berjuang dengan gigih. Namun demikian, semakin gigih pula suku suku pengembara Arab menolak beliau.

Pada saat penuh perjuangan itulah, Rasulullah menikah dengan Aisyah, putri Abu Bakar. Pernikahan itu bertujuan mempererat tali persaudaraan dengan para pendukung Islam yang setia. Tali persaudaraan yang erat itu sangat penting pada saat-saat sulit seperti itu.

Pernikahan Rasulullah dengan Aisyah merupakan penghargaan setingi-tingginya bagi Abu Bakar, ayah Aisyah sekaligus sahabat Rasulullah. Pernikahan ini merupakan suatu bentuk kemenangan dalam persaudaraan yang penuh cinta kasih antara Abu Bakar dan Rasulullah sejak masa sebelum diangkat menjadi Rasul.

Sebelumnya Rasulullah menikahi Saudah. Saat itu Saudah telah menjadi janda setelah suaminya meninggal di Habasyah. Tujuan pernikahan itu adalah untuk menolong Saudah yang hampir hidup terlunta-lunta setelah suaminya wafat. Saudah adalah wanita yang pertama dinikahi Rasulullah sepeninggal Khadijah.

Setelah berduka ditinggal Abu Thalib dan Khadijah, kesukaran yang dihadapi Rasulullah bertambah dengan semakin kerasnya orang Quraisy memusuhi beliau. Pada saat itulah, Allah menghibur Rasulullah dengan sebuah perjalanan luar biasa yang tidak pernah kita temui lagi kedasyatannya dalam sejarah.

Isra’

Pada suatu malam yang hening, Malaikat Jibril mendatangi Rasulullah. Wajahnya putih berseri dan berkilau seperti salju. Demikian heningnya saat itu sampai tidak terdengar suara burung malam, gemericik air, dan siulan angin.

“Hai orang yang sedang tidur, bangunlah!” sapa Malaikat Jibril.

Rasulullah bangun. Saat itu, beliau sedang tidur di rumah sepupunya, Ummu Hani binti Abu Thalib.

Jibril membawa Buraq kehadapan Rasulullah. Buraq adalah hewan yang bentuknya lebih kecil dari kuda tapi lebih besar dari keledai dengan sayap dikedua sisi tubuhnya. Warnanya putih. Setiap kali ia melangkah, jauhnya sama dengan jarak pandang.

Setelah Rasulullah naik ke punggungnya. Buraq pun meluncur seperti anak panah, sedangkan Jibril terbang mengiringi dalam jarak yang dekat sekali. Mereka terbang melintasi padang-padang pasir menuju ke utara.

Ifrit

Dalam perjalanan Isra’, satu Ifrit mengejar Rasulullah sambil membawa obor. Ifrit adalah bangsa jin yang amat jahat. Jibril mengajarkan sebuah doa kepada Rasulullah yang membuat obor Ifrit padam dan Ifrit tersungkur jatuh.

Akhirnya Rasulullah tiba di Baitul Maqdis, Yerusalem, Palestina. Di atas Baitul Maqdis Rasulullah bertemu Nabi Ibrahim, Nabi Musa, dan Nabi Isa. Ketiga nabi mulia itu ditemani nabi nabi lain. Rasulullah kemudian memimpin shalat semua nabi dan rasul itu.

Selesai shalat, dibawakan kehadapan Rasulullah tiga buah bejana. Satu berisi khamr, satu berisi air, dan satu lagi berisi susu.

Mi’raj

Rasulullah mendengar sebuah suara berkata, “Kalau ia memgambil air, ia akan tenggelam dan begitu juga umatnya. Kalau ia mengambil khamr, ia akan tersesat dan begitu pula umatnya. Kalau dia mengambil susu, ia akan dibimbing dan begitu juga umatnya.”

Oleh karena itu, Rasulullah mengambil bejana berisi susu dan meminumnya dengan menyebut nama Allah. Jibril pun berkata kepada Rasulullah, “Anda telah diberkati dan begitu pula umat Anda, Muhammad.”

Setelah itu, beliau dibawa naik sampai ke langit. Tangga dipancangkan di atas batu Yaqub.
Mi’raj berarti tangga. Saat naik ke langit, Rasulullah meniti Mi’raj, bukan lagi menaiki Buraq. Buraq menunggu di bawah ditambatkan di pintu Baitul Maqdis. Oleh Jibril, tangga ini diletakkan di atas batu besar dan ujungnya terus menjulang sampai ke langit.
Dengan tangga itu, Rasulullah naik ke atas langit berlapis tujuh. Setiap tingkatan langit di jaga oleh malaikat agar tidak ada setan yang bisa mencuri dengar rahasia rahasia langit.

Di langit pertama, Rasulullah melihat semua malaikat tersenyum, kecuali satu saja. Rasulullah bertanya kepada Jibril, lalu Jibril menjawab bahwa itu adalah Malik, malaikat penjaga neraka, Rasulullah bertanya lagi kepada Jibril,

“Bisakah engkau memerintahkannya untuk memperlihatkan neraka?”

“Malik, perlihatkan neraka kepada Muhammad.”

Lalu Malik mengangkat penutup neraka dan api berkobar tinggi sampai Rasulullah mengira bahwa ia akan membakar segalanya.

Illiyyin dan Sijjin

Illiyyin adalah nama suatu tempat di surga tertinggi. Sementara itu, Sijjin adalah tempat yang terletak di bawah Neraka Jahanam.

Rasulullah meminta agar Jibril memerintahkan Malik mengendalikan kobaran api yang sangat dasyat itu. Malaikat Malik pun melakukannya dan menutup kembali pintu neraka.

Setelah itu, Rasulullah melihat seorang laki-laki sedang duduk melihat roh roh manusia yang lewat dihadapannya. Jika roh itu baik, ia akan mengucapkan selamat seraya berkata,

“Roh yang baik dari tubuh yang baik.”

Jika yang lewat itu roh yang buruk, wajah laki-laki itu jadi keruh sambil berkata,

“Huh! Roh yang jelek dari tubuh yang jelek!”

“Siapa laki-laki itu, wahai Jibril?” tanya Rasulullah.

Jibril menjelaskan bahwa itu adalah Nabi Adam yang sedang menilai roh keturunannya. Roh orang yang beriman membuat Nabi Adam gembira, sedangkan roh orang kafir dan murtad membuat beliau kesal dan murung.

(Bersambung)

Sumber: Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad ﷺ.
oleh : KH. Munawar Chalil.

Kisah Rasulullah #52

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ مُحَمد

Di Kebun Anggur

Melihat penderitaan yang begitu buruk dialami Rasulullah, Utbah dan Syaibah merasa iba. Mereka menyuruh seorang budak mereka untuk memberikan buah anggur kepada Rasulullah.

Rasulullah menjulurkan tangan untuk memgambil anggur seraya mengucap, “Bismillah.”

Budak itu terkejut keheranan mendengar ucapan itu.

“Kata-kata itu tidak pernah diucapkan oleh penduduk negeri ini.” ujarnya.

Kemudian, Rasulullah bertanya kepada sang budak siapa namanya dan dari negeri mana dia berasal, serta apa agamanya.

“Namaku Addas, aku berasal dari Niniveh di Mesopotamia. Aku beragama Nasrani.”

Rasulullah kemudian berkata lagi, “Dari negeri baik-baik, Yunus bin Matta.”

Dengan rasa heran yang lebih besar daripada sebelumnya, Addas bertanya, “Darimana Tuan tahu nama Yunus bin Matta?”

“Dia saudaraku,” jawab Rasulullah, “dia seorang nabi dan aku juga seorang nabi.”

Mendengar itu, hati Addas dipenuhi rasa haru yang menyengat. Tanpa berkata apa-apa lagi, dia mencium kepala, tangan, dan kaki Rasulullah.

Utbah dan Syaibah memerhatikan hal itu dengan heran.

“Lihat, ia merusak budakmu,” kata Syaibah.

Ketika Addas kembali, mereka bertanya dengan marah,
“Mengapa pula engkau cium kepala, tangan, dan kaki orang itu?”

“Itulah laki-laki yang paling baik di negeri ini,” jawab Addas.
“Ia mengatakan sesuatu yang hanya diketahui oleh para nabi.”

Utbah dan Syaibah saling pandang sebelum berkata dengan keras,
“Addas, jangan sampai orang itu memalingkan engkau dari agamamu. Agamamu itu lebih baik daripada agamanya.”

Saat Paling Getir

Jibril dan Malaikat Penjaga Gunung, menawarkan diri untuk menghancurkan Tha’if. Namun, Rasulullah menolak, beliau bahkan mendoakan kebaikan bagi penduduk Tha’if.

Kembali ke Mekah

Setelah Abu Thalib meninggal, Abu Lahab lah yang terpilih sebagai pemimpin kabilah Bani Hasyim. Abu Lahab langsung mengumumkan kepada khalayak bahwa Bani Hasyim kini tidak lagi melindungi Rasulullah. Hal itu berarti Rasulullah boleh dianiaya, bahkan sampai dibunuh oleh siapa pun tidak akan ada yang menuntut balas kematiannya.

Dalam perjalanan kembali ke Mekah, keadaan Nabi yang tanpa perlindungan ini merisaukan Zaid. Zaid pun bertanya,

“Wahai Rasulullah, apa yang akan kita lakukan jika kita kembali ke Mekah tanpa perlindungan? Aku khawatir jika orang akan berbuat sewenang-wenang kepada Anda.”

Rasulullah menatap Zaid dengan pandangan menghibur sambil berkata dengan keyakinan penuh,

“Allah akan melindungi agama dan Rasul-NYA.”

Tiba-tiba di luar Mekah, melalui seorang penduduk, Rasulullah menghubungi Al Akhnas bin Syariq untuk menanyakan apakah ia mau memberi perlindungan. Namun, Al Akhnas menolak.
Rasulullah kemudian menghubungi Suhail bin Amr dari Bani Amr bin Lu’ay, tetapi ia juga menolak.
Akhirnya Al Muth’im bin Adi bersedia memberi perlindungan.

Esok paginya, Al Muth’im menuju Ka’bah dan memgumumkan perlindungannya. Abu Lahab datang dan memprotes dengan ejekan,

“Kamu memberi perlindungan atau menjadi pengikutnya?”

“Kami memberi perlindungan kepada orang yang seharusnya engkau lindungi”, jawab Al Muth’im.

Suatu hari, Rasulullah pergi ke Ka’bah, Abu Jahal melihatnya dan berseru kepada sekumpulan orang Quraisy dengan nada menghina,

“Wahai keturunan Abdu Manaf, inilah Nabi kalian.”

Menanggapi olokan itu, Utbah bin Rabi’ah berkata,
“Peduli apa pula engkau, apakah kita ini mempunyai seorang nabi atau raja?”

Rasulullah mendekati keduanya dan berkata,

“Wahai Utbah, demi Allah ucapanmu adalah tanggunganmu sendiri. Sementara untukmu, Abu Jahal, nasib jelek akan menimpamu sehingga kelak engkau akan sedikit tertawa dan banyak menangis.”

Saat Penuh Perjuangan

Setelah Abu Thalib meninggal ruang gerak dakwah Rasulullah di Mekah semakin sempit. Beliau pun mencoba mengalihkan dakwah Islam ke suku-suku Arab lain yang sering berdatangan ke Mekah pada bulan-bulan haji.

Setiap hari Rasulullah mengunjungi perkemahan Badui, setiap kali itu pula Abu Lahab mengikuti beliau. Setelah beliau beranjak pergi, Abu Lahab mendekat dan berkata,

“Orang yang tadi hanya ingin menukar kepercayaan Anda kepada Latta dan Uzza, serta jin-jin sekutu Anda, dengan agama sesat yang dibawanya.”

Seorang pemuka kabilah Badui pernah bertanya kepada Rasulullah,

“Kalau kami jadi pengikutmu dan Tuhan memberimu kemenangan menghadapi lawanmu, apakah kami akan berkuasa setelah Anda?”

Rasulullah menjawab,

“Kekuasaan adalah pemberian Allah ketika Ia menghendaki.”

Dengan muka masam, pemimpin kabilah itu berkata ketus,

“Dugaan saya, Anda ini mengharap kami melindungi Anda dari orang Badui dengan dada kami, lalu kalau Anda menang orang lain akan memetik untung! Tidak, terima kasih.”

(Bersambung)

Sumber: Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad ﷺ.
oleh : KH. Munawar Chalil.

Kisah Rasulullah #50

اللَّهُمَّ صَلِّ علَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ

Kenangan akan Khadijah

Kenangan akan Khadijah tetap hidup di hati Rasulullah sampai beliau wafat. Rasulullah ingat pernikahan mereka yang penuh berkah. Itulah satu-satunya pernikahan di dunia ini yang dipenuhi berkah surga dan dunia sekaligus.

Saat pernikahan itu, Khadijah mengadakan jamuan buat semua orang, mulai dari yang paling kaya sampai yang paling miskin. Bangsa Arab yang saat itu hanya mengenal air putih, dalam walimah pernikahan Rasulullah dan Khadijah, disuguhi minuman segar sari buah dan sirup mawar.

Selama beberapa hari, semua orang, baik tua maupun muda, makan di rumah Khadijah. Kepada orang-orang miskin, Khadijah memberikan beberapa keping uang emas dan perak serta pakaian. Kepada para janda, Khadijah menyumbangkan kebutuhan hidup yang belum pernah mereka rasakan sebelumnya.

Rasulullah juga terkenang saat setelah menikah, Khadijah tidak lagi tertarik pada perdagangan serta kesuksesan yang diraihnya. Pernikahan telah mengganti perhatian Khadijah. Beliau telah mendapatkan Muhammad al-Musthafa sebagai hartanya yang paling berharga di dunia ini. Begitu Khadijah menjadi istri Rasulullah, semua perak, emas, dan berlian kehilangan harga di matanya. Rasullullah menjadi satu-satunya yang Khadijah sayangi, perhatikan, dan cintai. Beliau mengabdikan diri sepenuhnya pada kehidupan Rasulullah.

Saat-saat didampingi Khadijah, boleh dikatakan merupakan sat-saat yang sangat membahagiakan Rasulullah. Dari rahim Khadijah lahir dua orang putra dan empat orang putri Rasulullah, termasuk puteri terkecil mereka Fatimah az- Zahra, yang menjadi cahaya mata ayahnya.

Tidak ada laki-laki lain yang cocok mendampingi Khadijah selain Rasulullah. Begitu serasinya mereka sampai ada ahli sejarah yang menduga bahwa seandainya Khadijah tidak bertemu Rasulullah dalam hidupnya, kemungkinan besar Khadijah tidak akan menikah sampai akhir hidupnya, karena bukanlah kekayaan, ketampanan, dan keturunan yang menarik hati Khadijah, melainkan keluhuran budi yang mampu meluluhkan hatinya. Itulah yang ada dalam diri Rasulullah.

Rumah di Surga

Dalam Shahih al-Bukhari, Abu Hurairah berkata, Jibril mendatangi rumah Rasulullah seraya berkata, “Wahai Rasulullah, inilah yang datang, Khadijah, sambil membawa bejana yang di dalamnya ada lauk atau makanan atau minuman. Jika ia datang, sampaikan salam padanya dari Rabb-nya dan sampaikan kabar kepadanya tentang sebuah rumah di Surga yang di dalamnya tidak ada hiruk-pikuk dan keletihan.”

Khadijah Wanita Sempurna

Sebelum kedatangan Islam, Khadijah dijuluki Ratu Mekah. Namun, ketika cahaya Islam terbit, Allah memberi beliau kedudukan sebagai ibu kaum beriman (ummulmukminin).

Saat itu, sebagian kaum Muslimin adalah orang-orang miskin. Mereka tidak bisa mencari nafkah, karena orang-orang kafir lah yang menguasai perdagangan. Orang-orang itu tidak memberikan kesempatan bagi kaum Muslimin untuk bekerja. Pada saat itu, kaum Muslimin bisa terhindar dari kelaparan berkat bantuan Khadijah.

Khadijah juga memberi mereka tempat tinggal. Khadijah menggunakan begitu banyak uangnya untuk orang-orang Muslim di Mekah yang miskin akibat boikot orang-orang musyrik. Pertolongan Khadijah telah mematahkan tujuan orang-orang musyrik untuk menarik para pengikut Rasulullah yang miskin pada kekafiran lagi.

Khadijah tidak pernah menyisakan sampai uang terakhir yang dimilikinya demi kesejahteraan para pemeluk Islam. Cinta Khadijah kepada mereka tidak berbeda dengan cinta ibu kepada anaknya. Kalian tahu, seorang ibu rela mengorbankan nyawanya sendiri demi keselamatan anak-anaknya. Seorang ibu bisa merasakan lapar, namun jika anak-anaknya kelaparan, ia akan mengutamakan anak-anaknya lebih dulu. Ia akan memberikan jatah makannya untuk anak-anaknya dan rela menahan lapar. Bahkan jika anak-anaknya merasa kenyang dan senang, itu sudah cukup membuat seorang ibu juga merasa senang dan kenyang sehingga ia lupa rasa lapar yang dideritanya sendiri. Cinta seorang ibu tidak mengenal syarat. Cinta seorang ibu penuh perlindungan dan penuh kasih.

Dengan keluhuran budi istrinya yang begitu agung, sangat wajar jika Rasulullah merasa amat berduka ketika Khadijah wafat.

Rasulullah Amat Mencintai Khadijah

Begitu besarnya cinta Rasulullah kepada Khadijah sampai beliau bersabda, “Demi Allah! Allah tidak menggantikan Khadijah dengan seorang yang lebih baik. Ia telah beriman kepadaku pada saat orang-orang mengingkari risalahku. Ia percaya kepadaku pada saat orang-orang mendustaiku. Ia telah mengorbankan hartanya padahal orang lain tidak mau melakukannya, dan Allah telah melimpahkan karunia bagiku anak-anak melalui Khadijah.”

Setelah Abu Thalib Tiada

Ketika ibunya wafat, Fatimah az-Zahra baru berusia tiga tahun. Anak perempuan yang matanya masih basah karena baru kehilangan ibunya itu kini melihat ayahnya dihina orang sejadi-jadinya. Para tetangga mereka seperti Hakam bin Ash, Uqbah bin Abu Mu’ith, Adi bin Hamra, dan Abu Lahab sangat sering melempar batu ketika ayahnya sedang shalat. Bahkan tidak cuma batu, tetapi juga jeroan kambing. Jeroan kambing itu pernah mereka lemparkan ke dalam panci masakan Rasulullah yang siap disajikan.

Kejadian paling ringan yang pernah menimpa Rasulullah adalah ketika seorang Quraisy pandir mencegatnya di jalan dan secara tiba-tiba menyiramkan tanah ke atas kepala beliau. Rasulullah tidak membalas hinaan itu. Beliau pulang ke rumah dengan kepala yang penuh tanah.

Di rumah, Fatimah membersihkan kepala ayahnya sambil menangis.

Tidak ada yang lebih pilu rasanya hati seorang ayah dibanding mendengar tangis anaknya. Apalagi yang menangis ini adalah anak perempuan yang baru saja ditinggal mati ibunya. Hampir kaku rasanya Rasulullah karena begitu pilu, bahkan beliau hampir saja ikut menangis.

Muhammad adalah ayah yang bijaksana dan penuh kasih sayang pada putri-putrinya. Tak ada lagi yang beliau lakukan menghadapi tangis pilu putrinya selain memohon pertolongan kepada Allah dengan keimanan sepenuh hati.

“Jangan menangis, putriku,” begitu yang Rasulullah bisikkan kepada Fatimah sambil menghapus air matanya.
“Sesungguhnya Allah akan melindungi ayahmu.”

Rasulullah kemudian berkata,
“Sebelum wafat Abu Thalib, orang-orang Quraisy itu tidak seberapa menggangguku.”

Apa yang kemudian beliau lakukan untuk melepaskan diri dari tekanan Quraisy yang semakin menjadi-jadi?

ان شاءالله
bersambung…

Sumber : Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad ﷺ.
oleh : KH. Munawar Chalil.

Kisah Rasulullah #49

اللَّهُمَّ صَلِّ علَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ

Abu Thalib Sakit Keras

Beberapa bulan setelah piagam dihapus, Rasulullah kembali mengalami ujian besar. Kali ini bukan penyiksaan dari pihak lawan, melainkan berupa kehilangan orang yang beliau cintai.

Karena sudah lanjut usia dan menderita kehidupan berat di pengasingan selama tiga tahun, Abu Thalib jatuh sakit. Saat itu usianya sudah delapan puluh tahun. Mengetahui Abu Thalib sakit keras, orang-orang Quraisy khawatir akan terjadi perang antara kaum Quraisy dan Rasulullah beserta para pengikutnya. Apalagi di pihak Rasulullah ada Hamzah dan Umar yang terkenal garang dan keras. Selama ini, Abu Thalib selalu bisa menjadi penengah kedua belah pihak.

Para pemuka Quraisy menemui Abu Thalib di pembaringan dan berkata,
“Abu Thalib, engkau adalah keluarga kami juga. Sekarang ini, keadaan antara kami dan kemenakanmu sudah sangat mencemaskan kami. Panggilah dia. Kami dan dia akan saling memberi dan menerima. Biarlah dia dengan agamanya dan kami dengan agama kami pula”.

Rasulullah Kemudian datang. Mengetahui maksud kedatangan mereka, Rasulullah bersabda,
“Sepatah kata saja saya minta yang akan membuat mereka merajai semua orang Arab dan bukan Arab.”

“Katakanlah, demi ayahmu,” kata Abu Jahal.
“Sepuluh kata sekali pun silakan!”

Rasulullah bersabda,
“Katakan, tidak ada Tuhan selain Allah dan tinggalkan segala penyembahan selain Allah.”

“Muhammad,” seru mereka,
“maksudmu tuhan-tuhan itu dijadikan satu saja?”

Para pembesar Quraisy saling pandang dengan kecewa menghadapi keteguhan Rasulullah.

“Pulanglah,” kata mereka satu sama lain,
“orang Ini tidak akan memberikan apa-apa seperti yang kamu kehendaki. Pergilah Kalian!”

Abu Thalib Wafat

Rasulullah duduk di sisi pembaringan pamannya. Dengan sedih, ditatapnya wajah bijaksana orang tua itu. Hati Rasulullah dipenuhi rasa duka, tidak hanya karena melihat sakit sebelum maut yang diderita Abu Thalib, melainkan juga karena sampai saat itu, pamannya belum juga membuka hatinya kepada Islam.

Rasulullah menggenggam tangan pamannya dengan lembut. Inilah Abu Thalib yang dulu mengajaknya berdagang ke Syam karena tidak tega berpisah dengannya. Inilah pamannya yang dulu merawatnya penuh kasih sayang, bahkan mencintainya melebihi kecintaan kepada anak-anaknya sendiri. Inilah Abu Thalib yang membuka jalan pertemuannya dengan Khadijah dan mendorongnya menjadi pemimpin kafilah dagang Khadijah. Inilah Abu Thalib yang selalu menjadi pelindungnya sejak dirinya menjadi yatim sampai menjadi utusan Allah.

Abu Thalib membuka matanya yang sayu dan memandang Rasulullah, “Demi Allah, wahai anak saudaraku, aku tidak melihatmu menawarkan sesuatu yang berat kepada para pemuka kaummu.”

Sejenak timbul harapan Rasulullah akan keislaman pamannya itu.

“Wahai pamanku, ucapkanlah satu kalimat maka dengan kalimat tersebut engkau berhak mendapat syafaatku pada Hari Kiamat.”

Akan tetapi, Abu Thalib tetap enggan menerima ajakan tersebut. Kemudian wafatlah ia.

Kini, hilang sudah seorang pelindung Rasulullah. Mulai saat ini, Rasulullah harus menghadapi semuanya sendiri.

Kata-Kata Terakhir Abu Thalib

Ketika Rasulullah mengajak Abu Thalib mengucapkan syahadat pada saat-saat terakhirnya, Abu Thalib berkata,

“Kalau saja aku tidak khawatir nasib keluargaku akan dianiaya setelah kepergianku dan kaum Quraisy bakal mengatakan, bahwa aku berucap karena gentar menghadapi sakaratul maut, aku tentu mengucapkannya. Kalau pun kuucapkan, itu sekadar menyenangkan hatimu.”

Khadijah Wafat

Seusai penguburan Abu Thalib, Rasulullah kembali ke rumah dan menemukan Khadijah jatuh sakit. Rasulullah menggenggam tangan Khadijah yang kini terasa panas. Dari hari ke hari, wajah Khadijah semakin pucat dan gemetar, Rasulullah amat terharu. Pada saat-saat seperti ini, istrinya itu tetap berusaha menguatkan hatinya. Seolah-olah Khadijah tahu bahwa perjuangan suaminya masih sangat panjang dan berliku, sedangkan perjuangannya sendiri sudah mencapai titik akhir.

Akhirnya, saat perpisahan sepasang suami istri yang mulia itu pun tiba. Hanya beberapa hari setelah Abu Thalib meninggal, Khadijah pun wafat dengan tenang.

Dalam beberapa hari saja, Rasulullah kehilangan dua orang yang sangat berarti dalam hidupnya: paman yang mengasuh dan melindunginya serta istri yang setia mendampingi dalam menempuh semua suka dan duka, terutama setelah beliau diangkat menjadi Rasul selama sepuluh tahun terakhir kehidupan mereka. Masa-masa duka ini dikenal dengan nama ‘Amul Huzni (tahun kesedihan).

Saat itu, seolah-olah semua kegembiraan di hati Rasulullah pudar. Indahnya kehidupan seolah-olah ikut terkubur bersama jasad dua orang kesayangan itu. Rasulullah tertunduk di samping pusara Khadijah. Air mata beliau mengalir tanpa tertahan.

Beliau ingat, betapa besar penderitaan pamannya dan kesengsaraan yang dipikul istrinya saat mereka bertindak melindungi beliau. Rasanya, hidup Khadijah lebih banyak dilalui dengan menanggung begitu berat beban perjuangan dibanding menikmati manisnya kehidupan.

Keluarga dan sahabat merasakan betul kesedihan Rasulullah. Sekuat tenaga, mereka berusaha menghibur Rasulullah. Inilah saat-saat ketika para pengikut, yang biasanya dihibur dan dikuatkan hatinya oleh Rasulullah, berganti menghibur dan menguatkan hati Rasulullah. Sungguh pada saat yang mengharukan, tetap ada keindahan yang tampak dalam persaudaraan mereka.

ان شاءالله
bersambung…

Sumber : Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad ﷺ.
oleh : KH. Munawar Chalil.

Kisah Rasulullah #48

اللَّهُمَّ صَلِّ علَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ

Ketegaran Tiada Banding

Suatu ketika, di tengah jalan, Rasulullah berpapasan dengan Umayyah bin Khalaf. Umayyah bin Khalaf adalah seorang pemuda berperangai buruk. Ia suka bermusuhan dan tidak punya rasa takut kepada siapa pun. Sekali pun Umar bin Khatthab dan Hamzah bin Abdul Muththalib telah bergabung dengan pasukan kaum Muslimin. Umayyah menganggap enteng-enteng saja. Dia bahkan telah sesumbar akan membunuh Rasulullah dengan tangannya sendiri.

Oleh karena itu, ketika berpapasan dengan Rasulullah, Umayyah langsung menggertak sambil menunjuk kuda yang dituntunnya, “Aku beri makan kuda ini, tidak lain adalah untuk membunuhmu!”

Rasulullah menatap Umayyah dengan tajam sambil membalas cepat, “Tidak, justru akulah yang akan membunuhmu dengan izin Allah.”

Kini Rasulullah tidak segan lagi menjawab setiap ejekan dan ancaman orang-orang Quraisy. Beliau semakin gencar dan tekun berdakwah tanpa memperdulikan resikonya lagi. Keberanian Rasulullah ini meruntuhkan wibawa musuh-musuh beliau yang selama ini selalu membangga-banggakan diri.

Masyarakat kecil perlahan mulai terpengaruh dengan keberanian Rasulullah ini. Mereka merasa, jika bergabung dengan kaum Muslimin, mereka tidak akan diejek dan disakiti lagi. Kekukuhan hati Rasulullah dalam menghadapi bahaya merambah ke hati orang-orang yang tertindas.

Suatu hari, seorang pria asing menjerit, “Wahai orang-orang Quraisy! Adakah orang yang bersedia menolong diriku? Hakku dirampas oleh Amr bin Hisyam (Abu Jahal)! Aku seorang pendatang dan telah diperlakukan sewenang-wenang!”

Siapa orang Quraisy yang berani menantang keganasan Abu Jahal untuk menolong laki-laki malang ini?

Keberanian Rasulullah

Memang tidak ada yang berani! Tidak seorang pun! Namun, mereka menyarankan kepada laki-laki asing itu,
“Carilah Muhammad dan mintalah tolong kepadanya.”

Walau menyarankan begitu, hampir semua orang yakin, Rasulullah tidak akan mampu melakukannya. Semua tahu bahwa Abu Jahal adalah musuh Rasulullah yang paling jahat dan beringas.

“Ada apa, Saudara? Apa yang bisa kubantu?” Demikian sapa Rasulullah ketika orang asing itu datang.

“Tuan, aku orang asing di sini. Amr bin Hisyam tidak mau membayar unta yang dia beli dariku!”

Rasulullah mengajak lelaki itu ke rumah Abu Jahal. Melihat mereka, orang-orang itu tertawa gaduh. Mereka yakin Muhammad tidak akan punya cukup keberanian untuk menghadapi Abu Jahal. Muhammad pasti akan mengecewakan laki-laki asing itu. Mereka bersiap-siap melontarkan ejekan paling menyakitkan untuk meruntuhkan wibawa Rasulullah di hadapan para pengikutnya.

Ketika Rasulullah dan orang asing itu tiba di rumah Abu Jahal, ia sedang berada ditengah-tengah budak dan para penunggang kudanya. Tiba-tiba pintu diketuk dengan keras. Wajah Abu Jahal memerah menahan marah.

“Siapa yang berani mengetuk pintuku sekeras itu? Tidak tahu dia kalau aku sedang bersama bawahanku! Dengan mudah, mereka bisa kusuruh melumatkan orang itu!” Pikir Abu Jahal

Abu Jahal membuka pintu dan terkejut melihat Rasulullah bersama orang asing itu di depannya. Saat itu wajah Rasulullah tampak sangat penuh percaya diri. Hati beliau sudah bulat untuk membela orang yang teraniaya ini.

Abu Jahal tidak berkata sepatah kata pun. Ia masuk ke rumah dan keluar lagi untuk membayar pembelian unta laki-laki asing itu.

Orang asing itu sangat berterimakasih kepada Rasulullah. Ia segera pergi dan bercerita kepada orang-orang di sekitar Ka’bah. Mau tidak mau, keberanian Rasulullah ini menimbulkan rasa kagum di hati mereka. Mereka yang tadi sudah siap mengejek pun membubarkan diri dengan perasaan bercampur aduk, kesal, geram, tetapi sekaligus hormat dan kagum.

Laki-laki dari Suku Ghifar

Kabar tentang ajaran Islam sudah mulai menyebar ke seluruh pelosok Jazirah Arabia. Suatu hari, datanglah seorang laki-laki berwajah ramah dan bijaksana. Abu Thalib melihatnya, lalu menegur, “Sepertinya Anda laki-laki asing?”

“Betul, namaku Abu Dzarr dari suku Ghifar.”

Sebelum datang sendiri, Abu Dzarr mengutus seorang saudaranya untuk mencari tahu tentang Rasulullah. Sesudah melihat apa yang dilakukan Rasulullah, saudara Abu Dzarr melaporkan,
“Demi Allah, aku telah melihat orang itu menyuruh kepada kebaikan dan mencegah dari keburukan.”

Karena belum puas dengan berita itu, Abu Dzarr pun datang ke Mekah. Ali bin Abu Thalib mengajak Abu Dzarr bermalam di rumahnya. Esok harinya, Ali bertanya kepada Abu Dzarr,
“Jika Anda tidak berkeberatan bercerita, apa yang mendorong Anda datang ke negeri ini?”

“Kalau Anda berjanji untuk merahasiakannya, aku akan menceritakannya.”
Ali mengangguk.

Kemudian, Abu Dzarr berkata,
“Di kampungku, kami mendengar tentang seseorang yang bernama Muhammad. Orang mengatakan bahwa ia membawa ajaran baru. Aku ingin menemuinya. Namun, aku tahu pemerintah Quraisy akan menindak setiap orang asing yang sengaja menemuinya.”

“Ikuti saya,” bisik Ali bin Abu Thalib, “masuklah ke tempat saya masuk. Jika saya melihat orang yang saya khawatirkan akan mengganggu keselamatan Tuan, saya akan merapat ke tembok dan Tuan silahkan berjalan terus.”

Malam itu juga, Abu Dzarr bertemu Rasulullah.

“Hatiku sangat pedih melihat orang-orang kaya yang congkak, budak-budak yang sengsara, kaum perempuan yang tertindas, kaum miskin yang tidak mampu berbuat apa-apa. Apa yang Islam tawarkan untuk mengatasi semua ini?” tanya Abu Dzarr.

Rasulullah menjawab semua pertanyaan itu sampai Abu Dzarr merasa sangat puas. Saat itu juga, Abu Dzarr menyatakan keimanannya dengan semangat menggelora.

Ketika Abu Dzarr berpamitan, Rasulullah berpesan.
“Wahai Abu Dzarr, kembalilah ke masyarakatmu. Kabarkanlah kepada mereka ajaran Islam, dan rahasiakanlah pertemuan kita ini dari penduduk Mekah karena aku khawatir mereka akan mengganggu keselamatanmu.”

Abu Dzar malah pergi ke Ka’bah dan berseru-seru mengajak orang masuk Islam.

Anjuran Bersabar Kepada Abu Dzarr

Suatu hari, Rasulullah bertanya kepada Abu Dzarr,
“Wahai Abu Dzarr, bagaimana pendapatmu jika kamu nanti melihat para pembesar yang mengambil barang upeti untuk mereka pribadi?”

Jawab Abu Dzar,
“Demi yang telah mengutus Anda dengan kebenaran, akan saya tebas mereka dengan pedang saya!”

Sabda Rasulullah,
“Maukah kamu aku beri jalan yang lebih baik dari itu? Bersabarlah sampai kamu menemuiku.”

ان شاءالله
bersambung…
Sumber : Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad ﷺ.
oleh : KH. Munawar Chalil.

Kisah Rasulullah #47

اللَّهُمَّ صَلِّ علَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ

Hisyam bin Amr

Hisyam bin Amr berjalan bolak-balik di depan rumahnya sambil menggerutu, “Tiga tahun sudah Bani Hasyim diasingkan! Padahal, mereka masih bersaudara dengan suku-suku Quraisy yang lain. Ada yang sebagai sepupu, ipar, paman, bibi.
Kalau saja tidak ada aku dan beberapa orang lain yang suka menyelundupkan makanan dengan diam-diam, Bani Hasyim tentu sudah kelaparan! Sudah saatnya aku harus berbuat sesuatu!”

Dengan tekad demikian, Hisyam bin Amr pergi menemui sahabatnya, Zuhair bin Umayyah. Zuhair adalah adalah anggota bani Makhzum, tapi bibinya adalah ‘Atiqah binti Abdul Muththalib dari Bani Hasyim.

“Zuhair,” tegur Hisyam,
“aku heran engkau masih bisa tenang menikmati makanan, pakaian, dan lainnya, padahal engkau tahu keluarga ibumu dikurung sedemikian rupa hingga tidak boleh berhubungan dengan orang lain, tidak boleh berjual beli, tidak boleh saling menikahkan! Aku bersumpah, kalau mereka itu keluargaku dari pihak ibuku, keluarga Abdul Hakam bin Hisyam, lalu diajak untuk mengasingkan mereka, tentu aku tolak mentah-mentah!”

Zuhair terperangah.
“Sebetulnya sudah lama sekali persoalan ini meresahkan hatiku,” kata Zuhair kemudian.

“Jadi apa lagi yang engkau tunggu?” tanya Hisyam.

Keduanya pun sepakat untuk bersama-sama membatalkan piagam kejam itu. Namun, itu tidak cukup. Mereka harus mendapat dukungan juga dari yang lain.

Kemudian, secara rahasia malam itu juga mereka menemui Muth’im bin Adi dari Bani Naufal, Abu al-Bakhtary bin Hisyam, dan Zam’ah bin Aswad dari Bani Asad. Kelima orang itu membulatkan tekad untuk membatalkan piagam yang telah tiga tahun dipasang di dinding Ka’bah.

Merobek Piagam

Esok harinya, Zuhair mengelingi Ka’bah tujuh kali seraya berseru, “Hai penduduk Mekah! Kamu sekalian enak-enak makan dan berpakaian, padahal Bani Hasyim binasa, tidak bisa membeli atau menjual sesuatu pun! Demi Allah, saya tidak akan duduk sebelum piagam yang kejam ini dirobek!”

Ketika itu, Abu Jahal, yang berada tidak jauh dari tempat Zuhair, dengan cepat datang menghampiri sambil berteriak,
“Engkau pendusta! Demi Allah, piagam itu tidak boleh dirobek!”

“Jika Zuhair engkau sebut pendusta, engkau jauh lebih pendusta!” balas Zam’ah bin Aswad.
“Sebenarnya, dulu pun saat piagam itu ditulis, kami tidak rela!”

“Zam’ah benar!” dukung Abu al-Bakhtary.
“Dulu kami tidak rela terhadap penulisan piagam itu dan kami pun tidak ikut menetapkannya!”

“Zam’ah dan Abu al-Bakhtary benar!” sahut Muth’im bin Adi.
“Dan siapa yang berkata selain itu dialah sang pendusta.”

“Kami menyatakan kepada Allah untuk membebaskan diri dari piagam itu dan apa yang tertulis di dalamnya!”

Mata Abu Jahal berkilat-kilat dan bahunya gemetar menahan marah.
“Kalian pasti sudah bersekongkol tadi malam!” tuduhnya.
“Kalian diam-diam berkumpul ditempat tersembunyi dan memutuskan untuk mengingkari piagam bersama ini!”

Perang mulut hampir memuncak ketika Abu Thalib yang ketika dari tadi diam di pojok, berjalan mendatangi mereka. Sikapnya yang tenang membuat orang-orang yang sedang bertengkar terdiam.

Mereka memandang Abu Thalib dan menanti yang akan dikatakan pemimpin Bani Hasyim itu.

“Semalam Muhammad menyampaikan sebuah pesan kepadaku mengenai piagam itu,” demikian kata Abu Thalib.

Rayap yang Diutus Allah

“Muhammad menyampaikan kepadaku bahwa Allah telah mengutus rayap untuk memusnahkan piagam itu”, lanjut Abu Thalib dengan tenang.

Orang-orang itu saling pandang dengan rasa heran bercampur takjub. Benarkah kabar ini?

Abu Thalib cepat berkata lagi, “Jika kemenakanku itu berbohong, kita biarkan apa yang ada di antara kalian dan dia. Biarlah kami menanggung pengasingan selamanya. Namun jika Muhammad benar, kalian harus berhenti memboikot dan berbuat semena-mena terhadap kami.”

Tampak sekali Abu Thalib sangat yakin dengan perkataannya, sehingga bersedia menanggung boikot sampai mati jika perkataan Rasulullah tidak benar.

Semua orang terdiam. Mereka terharu sekaligus mengagumi rasa saling percaya dan kesetiaan yang demikian tinggi antara Abu Thalib dan Rasulullah.

“Baiklah, engkau adil,” kata mereka. “Kami terima perkataanmu tadi, Abu Thalib.”

Berbondong-bondong, mereka pergi ke Ka’bah dan menemukan bahwa yang dikatakan Rasulullah memang benar. Rayap telah memakan isi piagam itu, kecuali sebagian kecil yang bertuliskan “Bismika allahumma (Dengan nama-Mu ya Allah).”

Demikianlah, akhirnya piagam itu dibatalkan. Rasulullah dan keluarganya kini bisa kembali berada di tengah-tengah masyarakat seperti semula.

Apakah kini Rasulullah dan para pengikutnya bisa bernafas lebih lega? Apalagi adanya kekuasaan Allah melalui rayap, mungkinkah hati orang-orang musyrik berubah? Ternyata sama sekali tidak! Justru kekufuran mereka semakin menjadi-jadi. Mereka itu seperti yang tercantum dalam firman Allah:

وَإِنْ يَرَوْا آيَةً يُعْرِضُوا وَيَقُولُوا سِحْرٌ مُسْتَمِرٌّ

Dan jika mereka (orang-orang musyrikin) melihat suatu tanda (mukjizat), mereka berpaling dan berkata: (Ini adalah) sihir yang terus menerus.
Surah al-Qamar (54:2)

Bulan-Bulan Suci

Ada empat bulan suci dalam setahun ketika Rasulullah dan kaum Muslimin dibebaskan dari pemboikotan. Bulan-bulan suci itu adalah bulan pertama, Muharram (saat diharamkannya kekerasan), lalu bulan ketujuh, Rajab (yang dihormati), kemudian bulan kesebelas, Dzulqa’dah (bulan damai), terakhir bulan kedua belas Dzuhijjah (bulan haji).

Tetap Berdakwah

Bulan-bulan suci (Muharram, Rajab Dzulqa’dah, Dzulhijjah) itulah dimanfaatkan Rasulullah untuk semakin giat berdakwah selama pemboikotan.

ان شاءالله
bersambung…

Sumber : Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad ﷺ.
oleh: KH. Munawar Chalil.

Kisah Rasulullah #46

اللَّهُمَّ صَلِّ علَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ

Mengejek Al-Qur’an

أَذَٰلِكَ خَيْرٌ نُزُلًا أَمْ شَجَرَةُ الزَّقُّومِ

(Makanan surga) itu kah hidangan yang lebih baik atau kah pohon zaqqum.
Surah as-Shaffat (37:62)

إِنَّا جَعَلْنَاهَا فِتْنَةً لِلظَّالِمِينَ

Sesungguhnya Kami menjadikan pohon zaqqum itu sebagai siksaan bagi orang-orang yang zalim.
Surah as-Shaffat (37:63)

إِنَّهَا شَجَرَةٌ تَخْرُجُ فِي أَصْلِ الْجَحِيمِ

Sesungguhnya dia adalah sebatang pohon yang ke luar dari dasar neraka yang menyala.
Surah as-Shaffat (37:64)

طَلْعُهَا كَأَنَّهُ رُءُوسُ الشَّيَاطِينِ

Mayangnya seperti kepala syaitan-syaitan.
Surah as-Shaffat (37:65)

Surat ash-shaffat ayat 62-65 menjelaskan tentang makanan orang di neraka berupa buah zaqqum.

Abu Jahal mengatakan bahwa pohon zaqqum itu tentunya seperti kurma Yatsrib yang dapat kamu santap.

Kemudian, Allah menghina Abu Jahal dalam Surat Ad-Dukhan ayat 43 – 49 .

إِنَّ شَجَرَتَ الزَّقُّومِ

Sesungguhnya pohon zaqqum itu,
Surah ad-Dukhan (44:43)

طَعَامُ الْأَثِيمِ

makanan orang yang banyak berdosa.
Surah ad-Dukhan (44:44)

كَالْمُهْلِ يَغْلِي فِي الْبُطُونِ

(Ia) sebagai kotoran minyak yang mendidih di dalam perut.
Surah ad-Dukhan (44:45)

كَغَلْيِ الْحَمِيمِ

Seperti mendidihnya air yang amat panas.
Surah ad-Dukhan (44:46)

خُذُوهُ فَاعْتِلُوهُ إِلَىٰ سَوَاءِ الْجَحِيمِ

Peganglah dia kemudian seretlah dia ke tengah-tengah neraka.
Surah ad-Dukhan (44:47)

ثُمَّ صُبُّوا فَوْقَ رَأْسِهِ مِنْ عَذَابِ الْحَمِيمِ

Kemudian tuangkanlah di atas kepalanya siksaan (dari) air yang amat panas.
Surah ad-Dukhan (44:48)

ذُقْ إِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيزُ الْكَرِيمُ

Rasakanlah, sesungguhnya kamu orang yang perkasa lagi mulia.
Surah ad-Dukhan (44:49)

Abdullah bin Ummi Maktum

Seorang buta bernama Abdullah bin Ummi Maktum bertanya,
“Ada seseorang bernama Muhammad yang membawa ajaran baru?” Temannya mengiyakan.

“Ajaran yang mengajak meyembah Tuhan Yang Mahatinggi?” tanya Abdullah bin Ummi Maktum lagi.

“Benar”

“Tuhan itu tidak bisa diraba seperti berhala?”

“Betul, Abdullah. Begitulah yang diajarkannya.”

Abdullah bin Ummi Maktum termenung sambil menggosok-gosok ujung jemari tangannya.

“Tuhan yang tidak bisa diraba?” Pikir Abdullah bin Ummi Maktum.
“Padahal ujung jariku ini sudah mengenal betul berhala-berhala. Aku bahkan bisa membedakan Latta dan Uzza dengan memegang hidung mereka. Seandainya aku bisa bertemu sendiri dengan Muhammad!”

Dipenuhi rasa ingin tahu yang besar, Abdullah bin Ummi Maktum menemui Rasulullah. Sayang sekali, saat itu Rasulullah sedang menyampaikan ayat-ayat al-Qur’an kepada Walid bin Mughirah. Ia adalah seorang pembesar Quraisy yang sangat diharapkan keislamanannya.

Akan tetapi, Abdullah bin Ummi Maktum tidak mengetahui kehadiran Walid, karena buta. Dia terus mendesak, mendesak dan mendesak Rasulullah agar saat itu juga menerangkan tentang Islam kepadanya.

Karena tidak tahan didesak terus, sedangkan beliau sedang mendakwahi seorang tokoh penting, Rasulullah membuang wajah beliau.

Saat itu, firman Allah turun untuk menegur beliau.
(QS ‘Abasa, 80 ayat 1-6)

عَبَسَ وَتَوَلَّىٰ

Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling.
Surah ‘Abasa (80:1)

أَنْ جَاءَهُ الْأَعْمَىٰ

Karena telah datang seorang buta kepadanya.
Surah ‘Abasa (80:2)

وَمَا يُدْرِيكَ لَعَلَّهُ يَزَّكَّىٰ

Tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa).
Surah ‘Abasa (80:3)

أَوْ يَذَّكَّرُ فَتَنْفَعَهُ الذِّكْرَىٰ

atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfaat kepadanya?
Surah ‘Abasa (80:4)

أَمَّا مَنِ اسْتَغْنَىٰ

Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup.
Surah ‘Abasa (80:5)

فَأَنْتَ لَهُ تَصَدَّىٰ

maka kamu melayaninya.
Surah ‘Abasa (80:6)

Demikianlah, Allah sangat menjaga utusan-Nya dari kesalahan, bahkan untuk kesalahan sekecil itu. Apalagi Rasulullah adalah orang yang sangat halus perasaanya sehingga jika akan merugikan orang miskin atau orang lemah, beliau merasa takut.

Karena Dengki

Kebanyakan para pembesar Quraisy tidak mau mengikuti Nabi bukan karena lebih yakin dengan berhala, melainkan lebih karena dengki. Mengapa Muhammad diangkat menjadi Nabi, bukan mereka.

Walid bin Mughirah berkata, “Wahyu didatangkan kepada Muhammad bukan kepadaku, padahal aku kepala dan pemimpin Quraisy, juga tidak kepada Abu Mas’ud Amr bin Umair ats-Tsaqafi sebagai pemimpin Tsaqif. Kami adalah pembesar-pembesar dua kota.”

ان شاءالله
bersambung…